MENU

Islam, Keadilan Sosial dan Terorisme

Bom meledak Senin Malam lalu di Manchester Inggris, dan Rabu malam kemarin di Kampung Melayu, Jakarta. Peristiwa ini terjadi persis hanya beberapa hari ketika Presiden Jokowi memberitahu Doland Trump dan 54 Kepala negara Arab dan Islam yang hadir di Riyadh Minggu, 21 Mai, lalu, tentang keberhasilannya menanggulangi terorisme di Indonesia.

Jokowi berharap, pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Inggris itu, dapat menjadi model negara-negara peserta dalam menyelesaikan persoalan terorisme.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyampaikan aspek-aspek deradikalisasi yang berhasil dilakukan di Indonesia, seperti upaya promosi dan propaganda moderat Muslim, dan mendorong peran sentral dua organisasi Islam, NU dan Muhammadiyah, sebagai tulang punggung dominasi Islam moderat.

Dalam pidatonya, seperti dilansir berbagai media, pada 22 Mei, Jokowi menekankan pentingnya pertama, persatuan (negara-negara) Islam, di mana permusuhan sesama harus diakhiri; kedua peningkatan kerjasama pemberantasan radikalisme dan terorisme, a.l. seperti pertukaran data intelijen; ketiga, menghilangkan ketimpangan ekonomi dan sosial; dan keempat, menghimbau semua negara menjadi bagian solusi perdamaian dunia.

Harapan Jokowi untuk menjadi pioner dalam pertemuan negara-negara Islam-Arab dan Amerika itu pupus kandas hanya beberapa hari kemudian dengan bom Kampung Melayu kemarin itu. Rezim pertahanan keamanan kabinet Jokowi harus menerima beban malu presiden kita ini.

Bahkan, Trump yang berkesempatan pidato, setelah Markel (PM Jerman) dalam acara pembukaan pertemuan NATO kemarin, 25 Mei, hanya mengenang peristiwa Bom Manchester, dengan mengajak kepala-kepala negara mengheningkan cipta untuk korban. Padahal Bom Kampung Melayu baru saja terjadi Rabu kemarin.

Terorisme dan Barat

Terorisme menjadi persoalan besar antara dunia Islam dan Barat terutama setelah peristiwa 9/11 hampir 16 tahun lalu, peledakan WTC di NY USA. Mayoritas peledakan peledakan bom di barat (Amerika dan Eropa) melibatkan orang orang yang beragama Islam, yang umumnya berkebangsaan Arab.

Paska 9/11, Amerika dan sekutunya, NATO, melakukan serangan langsung ke negara-negara yang dianggap menjadi basis terorisme. Bahkan, dalam skala negara, Amerika menghancurkan Irak dan Suriah untuk keperluan itu.

Solidaritas negara-negara barat sendiri, telah diklaim sekjen NATO dalam pertemuan Brussel saat ini, mengorbankan lebih dari seribu tentara mereka di Iraq, Suriah dan Afganistan sejak 9/11.

Namun, sampai saat ini, masyarakat muslim merespon aksi Amerika dan Barat terhadap dunia Islam sebagai “mix feeling” karena beberapa hal sebagai berikut: pertama, sampai saat ini alasan Amerika menuduh Iraq tepat setelah 9/11, mempunyai senjata kimia massal dan sekaligus sponsor terorisme belum terbukti. Bahkan, Toni Blair mantan PM Inggris yang ikut bersekutu menyerang Iraq saat itu, gagal mempertahankan kepercayaan yang dipropagandakan Amerika, dalam investigasi resmi negara Inggris.

Kedua, banyak ilmuwan barat yang mengungkapkan bahwa kepentingan Amerika di timur tengah utamanya lebih kepada urusan bisnis energi. Professor Stiglitz, misalnya, menyampaikan itu dalam bukunya yang terkenal “Triliun Dollar War”.

Ketiga, adanya beda pandangan antara Obama dan Donald Trump dalam menyikapi Arab, dunia Islam dan Terorisme. Obama berusaha menarik seluruh pasukannya di Timur Tengah, sebagai tanda pengurangan intervensi Amerika di sana.

Sebaliknya, Trump, selama kampanye, menuduh Obama dan Hillary Clinton menciptakan ISIS. Padahal ISIS dinyatakan dunia sebagai sumber terorisme saat ini.

Ada hal terakhir yang jadi isu besar saat ini di dunia, yakni adanya tuduhan Inggris bahwa Amerika sudah terlalu lama membocorkan rahasia-rahasia intelijen diantara kerjasama mereka. Terakhir Inggris menuduh Amerika membocorkan beberapa fakta yang harus diteliti terkait bom Manchester kepada koran Newyork Times, beberapa hari lalu.

Situasi mix feeling ini menjadi hambatan bagi masyarakat muslim untuk percaya, terkait hubungan barat, khususnya Amerika, jika ingin ikut campur dalam hal terorisme di negara mereka, seperti di kita juga. Juga, meskipun secara umum, masyarakat muslim menolak terorisme yang terjadi di barat, tapi sebagiannya menerima pandangan post kolonialisme, dimana perjuangan Islam melawan barat sebuah keniscayaan kolonialisme masa lalu dan dominasi kapitalisme yang rakus oleh barat.

Terorisme dan Keadilan Sosial

Pandangan Jokowi terkait deradikalisasi dan keadilan sosial merupakan tantangan besar untuk direalisasikan di Indonesia, sebelum menjadi model di negara lain.

Hal ini menyangkut keyakinan kita atas korelasi kedua hal diatas. Sejauh apa deradikalisasi yang bersifat kultural dan keadilan sosial mempunyai kaitan?

Dalam buku Nawacitanya, Jokowi sudah mengutarakan persoalan identitas bisa terkait keniscayaan globalisasi, di mana kesadaran identitas pada anak-anak muda muncul seiring dengan kemajuan teknologi IT dan dunia virtual. Identitas ini ditemukan ketika anak-anak muda tersebut mencari akar identitasnya pada primordialisme dan Agama atau kepada budaya kontemporer.

Bila identitas itu diperoleh secara instant ketika bertemunya kegelisahan kalangan pemuda dengan ideologi-ideologi Islam fundamentalis, maka hal ini akan membuat adanya potensi kelompok fundamentalis.

Jokowi dalam Nawacita juga mengaitkan ketimpangan sosial sebagai akar kekerasan sosial. Kemiskinan mayoritas dan kekayaan segelintir orang menumbuhkan bibit dendam sosial, setidaknya sebuah akar bagi kekerasan sosial.

Jika persoalan kebangkitan identitas dan ketidak adilan sosial mempunyai korelasi yang kuat, maka tugas Presiden Jokowi adalah memaksa adanya New Policy yang menghancurkan ketimpangan sosial ini secara radikal, baik melalui Landreform maupun Capital Reform. Namun, jika masalah identitas merupakan variabel yang sama kuatnya dalam membentuk radikalisme, penanganan deradikalisasi non ekonomi perlu dilakukan secara paralel.

Setidaknya ungkapan Jokowi soal keadilan sosial sebagai problem yang harus dan urgen diselesaikan, konsisten dengan pidato Nawacita Jokowi 2,5 tahun lalu. Persoalannya, apakah Jokowi tetap mempunyai political will untuk itu?

Penutup

Terorisme kelihatannya menjangkau seluruh dunia saat ini. Terutama di negara barat dan Islam. Kerja keras pencegahan terorisme harus meliputi kepentingan semua pihak. Di negara-negara barat, kemarin ini, Obama yang berbicara di Berlin pada acara perayaan 500 tahun Reformasi Protestan, dan Trump yang berbicara di Brussel, pembukaan KTT NATO, sama-sama mengutuk terorisme. Padahal dendam Obama vs Trump paska pilpres Amerika masih segunung.

Juga semua 28 negara NATO setuju jargon “three muskiter”: “One for All, All for One” dalam menghadapi terorisme.

Kita pun sepertinya sudah harus bersatu total melawan terorisme. Tidak ada negara lain yang peduli keselamatan negara kita, karena kita tidak punya pakta pertahanan dengan negara lain. Tentu saja strategi kita menyelesaikan terorisme dan potensi terorisme harus dengan kearifan lokal, karena faktanya pembom itu adalah orang-orang Indonesia, bukan asing (berbeda dengan di barat). Kearifan lokal itu khususnya semua kita harus meyakinkan bahwa arah keadilan sosial ke depan sungguh sungguh merujuk pada spirit proklamasi, bukan lagi seperti ungkapan puisi Panglima TNI “Indonesia Kaya, Tapi Bukan Kami Punya” atau ungkapan Kalla, “Indonesia hanya milik segelintir orang kaya saja”.

oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Sabang Merauke Circle

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER