JAKARTA – Kasus dugaan korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) menuai keprihatinan luas dari masyarakat. Sejumlah nama politikus DPR juga terseret dalam kasus korupsi senilai Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Oleh karenanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera mengusut dan menetapkan status hukum terhadap politikus, yang diduga terlibat patgulipat tender proyek e-KTP serta menikmati uang hasil rasuah program itu.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Kedilan Sejahtera (PKS) Refrizal mengatakan, jika daftar nama-nama politikus DPR peraih suap proyek ini benar, maka KPK patut diapresiasi.
“Kalau ini benar, saya apresiasi KPK. Tapi harus ditegakkan hukum untuk keadilan, bukan untuk kepentingan. Buka semua, jangan ada yang ditutup-tutupi,” kata Refrizal dalam diskusi Polemik SINDO Trijaya Network bertajuk “Perang Politik e-KTP” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (18/3/2017).
Kemudian dia minta KPK untuk membuktikan keterlibatan seluruh anggota DPR yang disebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan perdana kasus dugaan korupsi e-KTP. KPK harus berani membuktikan, sebab partai-partai sudah dirugikan oleh persepsi publik dengan adanya penyebutan sejumlah kader.
“Kalau KPK sudah berani sebut nama, harus berani membuktikan itu karena kerugiannya besar. Dia harus bisa buktikan siapa yang antar uang dan tuduhan-tuduhan lainnya,” tambah Refrizal.
Refrizal juga mewanti-wanti bahwa KPK harus benar-benar tuntas dalam mengusut kasus ini. Jangan sampai nasib kasus e-KTP berakhir tak jelas seperti kasus Century, nama besar yang muncul masih belum tersentuh hukum.
“Jangan sampai KPK penuntutannya terlalu panjang nanti malah ngambang. Kasihan juga nama-nama yang disebut dan tidak bisa dibuktikan. Jadi harus fokus pada alat bukti yang bisa dibuktikan secara hukum,” ujar Refrizal. “Kalau ini lewat semua ini kiamat kecil. Saya prihatin kalau itu benar lewat semua. Century belum jelas sampai sekarang,” lanjutnya.
Kemudian Refrizal mempertanyakan prosedur penganggaran proyek e-KTP di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dia menjelaskan, jika melihat dari siklus anggaran maka pada Januari-April, merupakan tahap pengajuan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Apakah ini sudah melalui prosedur anggaran yang betul,” selidik Refrizal.
Dia menambahkan, kalau tahapan penganggaran lewat Bappenas, maka akan dibahas dan dijadikan bahan pidato presiden pada 16 Agustus tentang nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN).
“Nah, kalau tidak melalui prosedur, maka anggaran e-KTP yang berjumlah Rp 5,9 triliun itu memang dari awal sudah cacat. Kalau ada di nota keuangan, berarti prosesnya sudah melalui prosedur,” jelas Refrizal.
Jangan dijadikan ajang balas dendam politik
Refrizal mengatakan kasus dugaan korupsi e-KTP sudah pasti akan memengaruhi hasil pemilu 2019. Partai-partai yang disebut dalam persidangan, sulit untuk menghindari dampaknya. Maka, ia meminta KPK agar bisa membuktikan dan tidak membuat penanganan kasus berlarut-larut.
Karena itu, Refrizal meminta pengungkapan kasus e-KTP ini terbebas dari kepentingan tertentu. Termasuk jangan dijadikan ajang balas dendam kepada lawan-lawan politik.
“Saya semacam mengimbau, artinya jangan untuk kepentingan lawan politik. Selama itu akan terjadi dendam. Jadi dalam Islam itu enggak ada dendam,” terang Refrizal.
Dalam kasus korupsi e-KTP, KPK menetapkan dua tersangka yang saat ini menjadi terdakwa di sidang perdana Pengadilan Tipikor. Para terdakwa yaitu mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yakni mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Irman sebagai Terdakwa I. Kemudian, Terdakwa II yakni mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Dukcapil Sugiharto.
Kedua terdakwa diduga tidak sendirian melakukan aksi rasuah. KPK menyebut terdakwa turut dibantu pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang menjadi penyedia barang dan jasa di Kemendagri. Kemudian JPU KPK membacakan nama-nama elite dari sembilan parpol yang diduga menerima aliran dana dari Andi Narogong.
EDITOR: Iwan Y
berani????