SCROLL KE ATAS UNTUK BACA BERITA

MENU

Wisata ke Banyuwangi, Banyuwangi Jenggireng Tangi

“ Uki-uki, angin muluk’o…Uki-uki, angin teko-o Sebyar-sebyarono, Gondo arume, kembang maniko rupo”

“Uki-uki, angin moro-o…Uki-uki, angin tebo-o
Sun iring kembang pecirin, Sun adang sun kudang, ring wangine kembang”

Sayup-sayup terdengar syair  lagu luk-luk lumbu di kejauhan, bersama semilir angin Gumitir. Merdu merayu menggoda siapa saja yang mendengarnya. Manis penuh mistis, konon ketika sudah ke Banyuwangi maka kita akan lupa negeri asal kita. #Entahlah

Malam ini, di dalam bus umum yang saya tumpangi dari Probolinggo menuju Banyuwangi (tujuan wisata kali ini) saya sangat menikmati udara dingin Gumitir. Jalan yang tajam berbelok-belok dengan jurang di sisi kanan kami ditambah gelap tanpa cahaya menambah adrenalin dalam tubuh. Jalur Gumitir ini mirip dengan jalur Puncak – Bogor, bedanya jalur Gumitir gelap tanpa penerangan. Cahaya satu-satunya yang membantu supir bus menyusuri jalan agar tidak terjerumus ke dalam jurang adalah cahaya lampu kendaraan kita atau dari kendaraan lainnya.

Selepas melewati Gumitir dengan segala keseramannya, maka tibalah saya di Banyuwangi. Negeri Blambangan di ujung Timur Pulau Jawa ini, memang sungguh menggoda. Kota suku Osing yang saat ini di bawah kepemimpinan Abdullah Azwar Anas bukan hanya menjadi destinasi wisatawan lokal saja bahkan wisatawan mancanegara pun kerap hadir mengunjungi Banyuwangi.

Dengan segudang agenda di sepanjang tahun siap menyambut kedatangan siapa saja yang ingin mencicipi keramahan dan kemolekan Banyuwangi. Sebut saja Ijen Summer Jazz Java Banana, International Tour De Banyuwangi Ijen, Festival Gandrung Sewu, Festival Kuwung, Banyuwangi Ethno Carnival dan masih banyak lagi yang lainnya.

Selain segudang acara tadi, tempat-tempat memesona lain nya siap memanjakan mata dan adrenalin kita. Jauh hari sebelum saya mendatangi Banyuwangi, saya sudah mencatat tempat-tempat wajib yang harus saya kunjungi antara lain: Pantai Boom, Kawah Ijen dan Wisata Budaya Desa Kemiren.

Subuh dini hari saya sudah bergegas menuju Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi untuk sholat berjama’ah, selanjutnya saya berlari menuju Pantai Boom mengejar Sunrise pertama yang menyinari tanah Jawa.

Pantai Boom adalah salah satu pantai yang kini menjadi destinasi unggulan Kabupaten Banyuwangi. Berada di pusat kota tepatnya di kawasan Kelurahan Kampung Mandar, Kecamatan Banyuwangi. Hanya membutuhkan 10 menit dari pusat kota, Pantai Boom ramai dikunjungi oleh wisatawan baik dari warga sekitar Banyuwangi maupun luar kota.

Keunggulan pantai Boom, dari tempat ini kita dapat menikmati pemandangan gunung dan berlatarkan pulau Dewata Bali.

Dikenal dengan tagline The Sunrise of Java, tentunya pantai ini menawarkan pemandangan dan hangatnya mentari pagi. Pantai Boom juga menjadi salah satu spot terbaik untuk melihat matahari terbit pertama kali di pulau jawa. Pantai dengan pasir hitam disepanjang pesisirnya dan ombak yang tidak terlalu besar ini  juga menjadi salah satu tempat favorit bagi berbagai event Banyuwangi, seperti Gandrung sewu dan Banyuwangi Beach Jazz Festival. Gandrung sewu merupakan pementasan Tarian kolosal Banyuwangi dengan melibatkan ribuan peserta.

Pantai Boom dahulu merupkan pelabuhan penting dimasa kolonial Belanda. Berbagai Bangunan penting seperti Gudang penyimpanan masih berdiri kokoh di tempat ini. Beruntungnya saya bisa menikmati hangatnya sinar mentari pertama kali yang menyentuh tanah Jawa.

Puas menikmati The Sunrise of Java, saya bergegas menuju TPI Muncar. Muncar adalah pelabuhan terbesar kedua setelah Bagan Siapi-api. Di Jawa Timur, Muncar menjadi pelabuhan terbesar. Pemandangan aktivitas nelayan di pelabuhan dapat dilihat setiap hari. Ada berbagai jenis perahu nelayan, baik yang tradisional maupun modern dengan berbagai hiasan dan ornament. Untuk mencapai Muncar sangat mudah, sebab tersedia kendaraan umum menuju Pantai.

Muncar terletak di sebelah selatan Kota Banyuwangi. Udara siang hari yang sedikit menyengat kulit tak menggoyahkan saya untuk tetap berdiri di bibir pantai menikmati laut dan wara-wirinya perahu nelayan beraneka rupa dan warna. Di temani segelas Es Kelapa muda yang diberi sedikit perasan jeruk nipis ini, menolong saya menghilangkan dahaga karena kepanasan.

Wisata saya lanjutkan menuju kawasan wisata Blok Bedul yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo, terletak di Desa Sumberasri Kecamatan Purwoharjo dan merupakan obyek wisata hutan mangrove yang masih sangat alami di Banyuwangi. Menurut penelitian, di sana terdapat 26 jenis mangrove dari 16 famili.

Lelah mengelilingi Banyuwangi seharian, saya memutuskan beristirahat sejenak di hotel tempat saya menginap. Sebelum tengah malam nanti wisata berlanjut mendaki lereng gunung Ijen menuju Kawah yang terkenal seantero jagad dengan Blue Fire nya.

Udara dingin menggigit sum-sum saya ketika sampai di kawasan Gunung Ijen , sebuah gunung berapi aktif yang mempunyai ketinggian 2443 meter dan telah meletus empat kali pada tahun 1796, 1817, 1913, 1936.

Disinilah terdapat sebuah tempat yang begitu indah dan selalu menggoda untuk dikunjungi, Kawah Ijen. Untuk dapat mencapai kawah ijen terdapat dua jalur yakni jalur utara dan selatan. Bila memilih melewati jalur selatan, dari Banyuwangi perjalanan menuju Desa licin kemudian dilanjutkan ke Paltuding dengan jarak 35 km dengan jarak tempuh 1,5 jam. Dan jika wisatawan memilih jalur utara berarti kita berangkat melewati Situbondo, menuju sempol melewati garduatak Wonosari,kemudian dilanjutkan ke Paltuding yang dapat dicapai dengan jarak 93 km dengan waktu tempuh 2,5 jam. Kali ini saya memilih melewati jalur selatan. Setelah anda mencapai puncak kawah ijen, maka anda akan menemukan kawah yang sangat indah.

Kawah Ijen adalah kawah yang bersifat asam yang airnya berwarna hijau toscca, berada di puncak ijen dengan tinggi 2368 meter diatas permukaan laut, dengan kedalaman danau 200 meter dan luas kawah 5466 hektar. Danau kawah ijen, merupakan danau reaktor multikomponen yang di dalamnya terjadi proses, baik fisika maupun kimia. Seperti diantaranya adalah proses pelepasan gas magmatic, pelarutan batuan, pengendapan, pembentukan material baru, dan pelarutan kembali zat – zat yang terbentuk. Sehingga menghasilkan air danau yang sangat asam dan mengandung bahan terlarut dengan konsentrasi sangat tinggi. (http://banyuwangitourism.com)

Selain itu, kekaguman tak berhenti sampai disini, fenoma indah dari kawah ijen yang mampu mengalahkan matahari terbit dan terbenam adalah Api biru/Blue fire/Blue Flame.  Untuk melihat api biru yang keluar dari semburan gas panas dari pipa sulfatara, saya harus menunggu waktu malam hari, itu berarti saya harus memulai pendakian pada dini hari. Sebuah perjuangan memang, namun percayalah melihat kecantikan blue fire sangat cukup membayar perjalanan perjuangan anda.

Waktu yang biasa digunakan pendakian untuk menyaksikan api biru di Kawah ijen antara pukul 02.00 WIB sampai jam 03.00 WIB dari Paltuding. Sayangnya meski sudah bersusah payah membawa kamera menuruni lereng bebatuan kawah Ijen demi memotret si Api biru yang melegenda itu, saya harus kecewa karena ternyata kamera saya kehabisan Batterei. Nasib untung di badan. Meski demikian menyaksikan kekuasaan Allah yang amat sangat indah itu membuat bibir ini tak henti-hentinya bertasbih. Maka bersujud di kawasan kawah Ijen menunaikan Sholat Subuh pagi itu adalah ungkapan rasa syukur saya kepada Sang Pencipta Alam Raya.

Menuruni lereng Ijen sejatinya perjuangan yang tak mudah puladan luar biasa serunya. Jika kita lelah, maka gerobak sewaan bisa jadi alternative kendaraan kita menuju Paltuding kembali. Saya memilih tertatih-tatih menuruninya sambil menghirup udara segar pagi hari Ijen.

Setelah rehat memulihkan badan yang penat berjalan naik-turun gunung Ijen, wisata saya lanjutkan menuju Desa Wisata Kemiren. Kemiren adalah nama sebuah desa di Banyuwangi, dimana desa ini dijadikan Desa Adat Wisata oleh pemerintah Banyuwangi. Memiliki luas 177.052 Ha dengan penduduk ± 3000.

KEMIREN merupakan kepanjangan dari Kemronyok Mikul Rencana Nyata ( prinsipnya yaitu bersama – sama dan gotong royong) hal ini di cetuskan oleh POKDARWIS atau kelompok sadar wisata desa Kemiren. Sedangakan Kemiren sendiri berasal dari nama KEMIRIAN (banyak pohon kemiri, duren dan aren) dan masyarakat setempat menyebutnya KEMIREN, maka nama daerah tersebut kemudian disebut KEMIREN hingga saat ini. Dijadikannya desa adat wisata, kemiren memiliki berbagai keunikan mulai dari adat, tradisi, kesenian, kuliner serta pola hidup masyarakatnya masih menjaga tradisi yang ada sejak dulu.

Suku Osing adalah suku asli Banyuwangi, dimana suku ini mayoritas tinggal di desa Kemiren. Berbagai macam kesenian masih bisa dijumpai di desa ini seperti seni Barong, Kuntulan, jaran Kincak (kuda menari), mocopatan ( membaca lontar kuno ) serta Gandrung yang mayoritas penari gandrung terkenal berasal dari desa Kemiren. Keistimewaan desa adat kemiren, masih menjaga tradisi – tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang mereka. (http://banyuwangitourism.com)

Dua hal yang menarik hati saya dari desa Kemiren ini yaitu : Gandrung dan Rujak Soto. Gandrung berarti mempesona dan menarik hati. Selama beratus-ratus tahun Banyuwangi tercatat sebagai penghasil bumi yang baik. Gagasan para petani setelah menuai padi diadakan tarian sebagai rasa terima kasih kepada Dewi Sri, dewinya padi. Inilah asal mulanya tarian Gandrung.

Sekarang tarian ini dipakai sebagai tarian selamat datang untuk menyambut dan menghormati tamu. Biasanya disajikan pada acara pesta perkawinan, syukuran, serta pada acara-acara tradisional lainnya.

Dan Rujak Soto merupakan makanan khas Banyuwangi yang memiliki keunikan tersendiri. Kuliner ini menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Banyuwangi serta rasanya yang enak dan cocok untuk dinikmati pada siang hari. Rujak Soto terkenal dengan  keunikan yang dimiliki baik dari namanya dan juga cara penyajiannya. Sejarah munculnya nama  Rujak Soto ditemukan oleh seorang ibu yang bernama  Bik Isah (penjual rujak babat di Kepatihan) ketika beliau memasak soto babat disuatu acara namun soto babat tersebut masih ada dan beliau pedagang rujak maka mencoba mencampurkan antara rujak dan soto sehingga munculah Rujak Soto pada tahun 1980.
Keunikan yang dimiliki Rujak Soto berupa perpaduan antara makanan soto babat dan rujak.

Maka benarlah jika kita sudah mengenal Banyuwangi maka kita akan lupa akan negeri asal kita, setidaknya bagi saya pasti akan kembali ke Banyuwangi, paran maning ono riko sing meltik ning jerone ati. (Haerul Umam/Banten)

Keterangan foto: Menikmati sunrise di Pantai Boom Banyuwangi (foto:Haerul Umam)

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

spot_img

TERPOPULER

Yuk, Kenali Jenis Busana Tunik

Lima Macam Riba Yang Diharamkam

dr. Darisman Muis, Sp KJ

Mana yang Tepat, Deodoran atau Bedak?