NEW YORK, SERUJI.CO.ID – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Senin (6/11), mendesak pemerintah Myanmar memastikan tidak ada lagi penggunaan kekuatan militer berlebih di Rakhine, tempat terjadinya kekerasan yang memaksa 600.000 lebih Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar.
PBB mengecam kekerasan yang terjadi pada 10 minggu terakhir dan menggambarkannya sebagai sebuah tindakan pembersihan suku. Namun pemerintah Myanmar membantah tuduhan tersebut.
Agar selaras dengan negara pemilik hak veto, pemerintah Rusia dan China, Inggris dan Prancis memutuskan untuk membatalkan rencana agar Dewan Keamanan mengadopsi sebuah resolusi terkait situasi tersebut dan justru memutuskan 15 anggota dengan suara bulat menyetujui sebuah pernyataan resmi.
Dewan tersebut menyatakan keprihatinan serius atas laporan pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan wewenang di negara bagian Rakhine, termasuk oleh pasukan keamanan Myanmar, khususnya terhadap masyarakat Rohingya.
“Dewan Keamanan meminta Pemerintah Myanmar untuk memastikan tidak ada lagi penggunaan kekuatan militer berlebihan di Rakhine, untuk mengembalikan pelayanan warga dan penerapan peraturan hukum, serta untuk mengambil langkah segera sesuai dengan peraturan dan komitmen mereka dalam menghormati hak asasi manusia,” katanya.
Myanmar telah mendapat banyak kritik internasional terkait operasi militer yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar. Lebih dari 600.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus.
“Dewan Keamanan menekankan tanggung jawab utama pemerintah Myanmar untuk melindungi penduduknya termasuk melalui penghormatan terhadap hukum dan menghargai serta melindungi hak asasi manusia,” kata pernyataan tersebut.
Pernyatan ini menekankan pentingnya dilakukan penyelidikan terbuka atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan dalam hal ini, Dewan Keamanan meminta Pemerintah Myanmar untuk bekerja sama dengan semua badan PBB yang terkait.
Sebelumnya Myanmar menolak menerima panel PBB yang ditugaskan untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran hak asasi, setelah terjadi serangan militer balasan dengan skala yang lebih kecil, yang dilancarkan Myanmar pada Oktober 2016.
Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, telah berjanji bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi dan mengatakan bahwa Myanmar akan menerima para pengungsi kembali, bagi mereka yang dapat membuktikan kalau dirinya merupakan warga Myanmar.
Dewan juga menuntut agar pemerintah Myanmar mengizinkan akses masuk bagi bantuan kemanusiaan dan media dengan aman dan tanpa hambatan. (Ant/SU02)