SERUJI.CO.ID – Pilpres dan Pileg yang diadakan serentak pada Pemilu 2019 ini, betul-betul sebuah kondisi yang amat berat bagi partai politik. Pertama, karena pemilih tentu akan lebih banyak tersedot perhatiannya pada kontestasi Pilpres, dibanding Pileg yang diikuti 14 partai Politik (ditambah 4 Parpol di Aceh).
Apalagi Pilpres kali ini, merupakan rematch dari Pilpres 2014, yang kembali mempertemukan Jokowi vs Prabowo.
Kedua, Partai politik dengan keterbatasan dana dan SDM-nya, dengan Pemilu serentak ini harus membagi dua sumber dayanya, untuk memenangkan Pileg sekaligus untuk memenangkan Pilpres. Padahal, tidak semua partai politik yang ikut mengusung capres/cawapres akan mendapatkan efek elektoral (coattail effect) bagi partainya. Coattail effect hanya akan didapat partai asal capres/cawapres, dan sedikit pada 1-2 partai pengusung lainnya.
Sementara itu, pada Pilpres 2019 ini, tidak ada satu pun capres-cawapres yang merupakan calon atau representasi dari Partai-Partai Islam. Semuanya dari Partai berbasis nasionalis, dan satu oang –KH Ma’ruf Amin cawapres Jokowi, berasal dari ormas Islam.
Oleh karenanya sulit berharap coattail effect akan dirasakan 5 partai Islam, terutama bagi; PKS, PAN, PPP, dan PBB. Mungkin bagi PKB ada sedikit effect, karena KH Ma’ruf dan PKB pada dasarnnya memiliki akar massa yang sama, yaitu Nahdliyin.
Hal ini, semakin nampak nyata dari hasil survei LSI Denny JA yang dirilis Rabu (20/2/2019) kemarin (baca di sini). Dari 5 partai Islam, hanya PKB yang diperkirakan lolos mengirimkan wakil ke Parlemen. Sementara 4 partai Islam lainnya masih berjuang untuk dapat keluar dari lubang Parliementary Threshold, yang pada Pemilu 2019 ini ditetapkan sebesar 4 persen.
Memprihatinkan kondisi partai-partai Islam saat ini. Sejak kejayaan Masyumi pasca kemerdekaan dan sebelum dibubarkan pada 17 Agustus 1960 di era Demokrasi Terpimpin, di bawah Presiden ke-1 RI Ir Soekarno, tidak pernah lagi Partai Islam kembali bisa dominan di panggung politik nasional.
Harapan sempat muncul pada PPP saat reformasi 1998, yang selama era Orde Baru selalu mendapat tekanan untuk dapat menjadi besar. Namun, euforia reformasi bukannya membuat elit muslim menyatukan kekuataan di PPP, tapi malah melahirkan partai-partai baru yang bersaing head to head dengan PPP memperebutkan suara ummat.
PPP tidak lagi harus berhadapan dengan Golkar yang menjelma menjadi Partai Golkar dan PDI Perjuangan, tapi juga berhadapan dengan “adik-adik”nya; seperti PKB yang digawangi Alaharyam Gus Dur, dan PAN yang dimotori Amien Rais. Juga berhadapan dengan PBB sebagai partai “Masyumi baru” yang dinakhodai Yusril Ihza, dan PK (kemudia berubah jadi PKS) yang digerakan oleh aktivis-aktivis muda gerakan tarbiyah. Plus parta-partai Islam lainnya yang kemudian banyak yang gagal mendapatkan kursi di parlemen.
Saat itu, hingga kini, terbelah lah suara ummat ke partai-partai Islam yang ada, yang kemudian hanya tersisa 5 partai, yakni PPP, PKB, PAN, PKS, dan PBB.
Kini, di Pemilu 2019, saat pembelahan politik akibat Pilpres yang hanya memunculkan dua pasang calon dalam rematch Jokowi vs Prabowo, Partai Nasionalis vs Nasionalis, seluruh partai Islam hanya menjadi partai “pengiring”, bahkan “pemanis” agar capres nasionalis yang diusung bisa diklaim juga merupakan capres respresentasi ummat Islam.
Partai Islam ikut terbelah dalam dua koalisi pendukung capres. PPP, PKB dan belakangan PBB dalam kelompok yang mendukung paslon 01, Jokowi-KH Ma’ruf Amin. Sementara PKS dan PAN dalam kelompok yang mendukung paslon 02, Prabowo-Sandiaga Uno. Sekali lagi, yang tak satupun merupakan representasi atau wakil dari partai-partai Islam tersebut.
Yang lebih memprihatinkan saat ini, karena kerasnya pembelahan politik, ummat pun ikut terbelah dalam memberikan dukungan. Lebih cilaka lagi, muncul narasi “koalisi partai pendukung penista agama Islam” yang dialamatkan ke koalisi Jokowi, dengan membangun stigma sebagai kelompok anti Islam. Juga narasi dan stigma “Koalisi Islam Radikal” bagi koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga. Narasi-narasi Islam lagi-lagi hanya dimanfaatkan untuk dulang suara.
Pembelahan politik ini, sama sekali tidak menguntungkan partai-partai Islam. Bisa dilihat dari hasil survei berbagai lembaga survei (yang terbaru survei LSI Denny JA), yang memperlihatkan dari 5 partai Islam tersebut hanya PKB yang terbilang aman dan diprediksi lolos dengan mulus ke Parlemen. Sementara PAN, PKS, PPP, dan PBB masih harus berjuang keras untuk dapat lolos mengirimkan wakil ke DPR RI.
Walau isu agama (Islam) dimainkan kedua kelompok pendukung capres-cawapres ini, tapi dapaknya ke partai-partai Islam tidaklah menguntungkan. Bahkan cenderung merugikan.
Hal ini bisa kita lihat dari maklumat Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab kepada ummat Islam khususnya kader dan simpatisan FPI untuk tidak memilih PBB dalam pemilu 2019, sekaligus meminta seluruh kader FPI untuk mundur dari caleg PBB. Maklumat yang lahir, hanya karena PBB memutuskan secara organisasi mendukung Jokowi di Pilpres 2019, karena menjadi bagian dari koalisi yang disebut HRS sebagai koalisi “pendukung Penista agama Islam”.
Tentu himbauan HRS itu akan berdampak bagi suara PBB. Terbukti lagi-lagi dari survei terakhir LSI Denny JA, PBB bukan saja diprediksi tidak lolos PT 4 persen, malah dalam kondisi sangat mengkhawatirkan hanya memiliki elektabilitas 0 persen (sekalipun margin error survei masih 2,8 persen).
Apakah hasil ini, termasuk himbauan HRS itu menguntungkan bagi ummat Islam? bagi perjuangan politik ummat Islam? Menurut saya, tidak ada sama sekali untungnya. Pun, apakah nanti Jokowi menang, ataupun Prabowo yang menang.
Jika hasil akhir Pileg nanti, terlepas siapapun Presidennya, seperti prediksi hasil survei LSI, maka hanya 2-3 partai Islam yang akan lolos ke Parlemen, PKB, PKS, dan PPP (walau PAN mungkin masih ada kemungkinan lolos). Dan jumlah kursi 3-4 partai Islam tersebut tidak akan lebih dari 15 persen.
Apa yang dapat diharapkan dari komposisi parlemen 85 persen Partai Nasionalis, dan 15 persen Partai Islam, tersebut?
Apakah dengan komposisi hanya 15 persen tersebut, perjuangan Muhammadiyah dalam Jihad Konstitusinya, misal, akan terbantu di Parlemen? atau apakah perjuangan Nahdlatul Ulama dalam Jihad Ekonominya, akan lancar di Parlemen?
Atau jihad-jihad meloloskan perundangan dan kebijakan yang lebih berpihak menyerap aspirasi ummat Islam bisa diharapkan diperjuangkan partai Islam yang hanya punya kursi 15 persen?
Tentu, perjuangan politik ummat Islam akan semakin berat, jika hanya 15 persen kursi parlemen yang dapat diduduki oleh wakil rakyat yang merupakan respresentasi partai Islam, yang memang ruh juangnya adalah Islam, atau setidaknya yang kepentingan Islamnya lebih kuat dibanding partai Nasionalis.
—000—–
Dengan kondisi tersebut, realitas yang nyata adanya, apalagi saat gairah politik ummat sedang tinggi-tingginya, yang mewujud dalam aksi-aksi bela Islam, seperti aksi 411 dan 211, tidak kah para tokoh-tokoh Islam merasa perlu terpikir dan menghimbau “Silahkan dukung capres manapun, tapi tetap perjuangkan 5 partai Islam tersebut masuk ke Parlemen”, daripada sekedar menyuarakan memilih Capres yang jelas-jelas bukan representasi politik Islam.
Biarkan pengurus PPP, PKB, dan PBB memutuskan dukung Jokowi, dan biarkan pengurus PKS, dan PAN memilih mendukung Prabowo, toh kedua capres itu bukan representasi dari partai Islam itu sendiri. Tapi, hemat saya, tetaplah perjuangkan caleg-caleg dari PPP, PKB, PBB, PKS, dan PAN menjadi mayoritas di DPR.
Jangan biarkan satupun dari partai-partai Islam ini harus gugur, tidak ada wakil di Parlemen hanya karena nafsu polarisasi dukung mendukung capres.
Jauh lebih baik, kader-kader FPI, misal, masuk ke Parlemen lewat PBB, memperkuat perjuangan nahi mungkar mereka selama ini di parlemen. Dibanding hanya sekedar menggolkan Prabowo sebagai Presiden.
Juga jauh lebih bermanfaat kirimkan kader-kader PAN ke parlemen untuk membantu jihad konstitusi Muhammadiyah dibanding sekedar memenangkan Jokowi di Pilpres.
Siapapun Presidennya, hemat saya, jangalah sampai partai-partai Islam ada lagi yang terkubur atau hanya kembali jadi pemanis pada kontestasi 2024. Setidaknya.
Surabaya, 21 Februari 2019.
FK