SERUJI.CO.ID – Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa Baduwi, yaitu para penggembala domba dan onta nomaden atau semi nomaden. Mereka mengelompokkan diri kedalam suku-suku yang saling bersaing, dan bahkan saling berperang untuk mendapatkan sumber air atau padang rumput tempat menggembalakan ternak (PSW, 2005). Di lingkungan gurun sulit ditemukan sungai yang mengalir, hanya terdapat lembah-lembah yang menampung air di musim penghujan.
Untuk itu Bangsa Arab mempertahankan ikatan kesukuan yang kuat melalui kabilah-kabilah. Masyarakat perkotaan Arab berdagang keluar kota dan menjualnya di daerahnya. Sedangkan masyarakat pedesaan Arab lebih memilih berladang atau beternak.
Orang-orang Arab nomaden tersebut tidak dilarang untuk memasuki daerah permukiman, dan konflik bukanlah hal yang intensif terjadi. Mereka bergerak antara wilayah berdasarkan kesepakatan damai antar suku (Nicolle, 2012).
Mekkah adalah kota yang kaya dimana para pedagang tinggal dan menikmati keamanan dibandingkan dengan wilayah-wilayah nomaden lainnya. Mekkah tempat Kakbah berdiri menjadi kota pusat keuangan dan hunian yang membuat kota ini lebih berpengaruh dibandingkan kota lain di Jazirah Arabia (Armstrong, 2001). Kota lainnya yang berkembang adalah Yatsrib (Madinah) dimana nabi Muhammad menetap setelah hijrah dari Makkah.
Masyarakat Arab biasanya digolongkan kedalam suku nomad Baduwi yang beternak Unta di padang pasir, swayih atau peternak domba dan unta di padang rumput serta ra’w orang setengah nomad di pinggiran daerah yang ditanami.
Sedangkan orang Arab yang tinggal di kota biasanya bekerja sebagai pedagang dan perajin, selain juga sebagai petani oase Arab (fallahin) yang tinggal di bukit subur Yaman, atau di desa-desa yang subur di Iraq Sasaniah atau Suriah Bizantium.
Namun para pedagang Mekah pra-Islam termasuk suku Quraisy yang mendominasi kota tua itu merupakan para pedagang sukses dan sangat kaya yang memiliki harta sampai di Suriah Bizantium (Nicolle, 2012).