19. Penurunan laba ini jauh lebih rendah dari pada kenaikan pembayaran bunga seperti tersebut di atas yang sebesar Rp 936 miliar. Artinya, SI melakukan penghematan besar-besaran beban-beban yang lain. Salah satu yang mungkin dilakukan adalah penghematan pembayaran kesejahteraan karyawan seperti bonus dan sejenisnya. Jika demikian yang terjadi, karyawan SI pasti merasakannya
20. HI dalam beberapa tahun sebelum diakuisisi selalu mengalami kerugian. Rugi semester pertama 2018 adalah Rp 539 miliar. Walaupun masih rugi, tetapi nilainya menipis menjadi Rp 279 miliar pada semester pertama tahun ini. Artinya, dibawah SI, kinerja HI sedikit membaik walaupun masih rugi. Tetapi melihat laba SI menurun berat, bisa dibaca bahwa SI berkorban besar untuk memperbaiki HI
21. Itulah akibat dari akusisi yang dibiayai utang. Apakah tidak ada alternatif lain untuk membiayai akuisisi HI? Nilai (seluruh saham) SI pada akhir 2018 adalah Rp 68T. Andai SI menerbitkan saham (rights issue) untuk membayar seluruh nilai akuisisi sebesar Rp 26T dibutuhkan penerbitan saham sebesar 38% dari lembar yang ada.
22. Mungkinkah rights issue dilakukan? Tidak mungkin karena dua alasan. Pertama, masyarakat (melalui DPR) pasti menolak karena rights issue itu akan menjadikan saham penerintah di SI kurang dari 51%. Artinya, SI bukan BUMN lagi. Walaupun sukses dilakukan banyak BUM seperti DHL(Jerman) atau Embraer (Brazil) misalnya, skema yang disebut korporatisasi ini pasti akan menimbulkan opini “pemerintah telah menjual aset negara”. Opini yang merupakan akibat dari menonjolnya mindset raja utang
23. Alasan kedua adalah masalah ROI. PER SI saat ini adalah 25 yang bisa dibaca bahwa investor mengharapkan ROI sebesar 100/25 alias 4%. Dengan demikian, jika menerbitkan saham senilai Rp 26 T pemegang saham SI menuntut tambahan laba dari HI sebesar 4% yaitu Rp 1,04 triliun. Ini tentu tidak mungkin dilakukan karena proyeksi ROI optimal HI sebagaimana disebut diatas hanya 2,6%.
24. Artinya, dengan cara pembiayaan apapun akuisisi HI adalah transaksi rugi bagi SI. Lalu mengapa tetap dilakukan? Dirut atau CEO SI tidak akan bisa menjawab dengan baik pertanyaan ini karena adanya fenomena Pseudo CEO sebagaimana di BUMN pada umumnya.
**)Artikel ke-211 ini ditulis pada tanggal 1 Agustus 2019 di kantor pusat SNF Consulting