Saya beruntung sempat menyaksikan langsung final piala dunia di Rio Janairo Brazil, 2014. Bersama keluarga, istri dan anak- anak, sejak enam bulan sebelumnya kami mempersiapkan event itu. Dua anak lelaki saya termasuk “gila bola.” Kadang jam 1.00 atau 2.00 subuh, mereka membangunkan saya menonton live TV pertandingan kompetisi bola Eropa.
Minggu 13 Juli 2014, sore hari, Final World Cup berlangsung antara Jerman dan Argentina. Sejak pagi, sudah saya rasakan Rio de Janairo berubah menjadi kota pesta budaya dunia.
Hilir mudik manusia dari manca negara lalu lalang dengan atribut budayanya masing masing. Para gadis muda Amerika Latin dengan bikini dan celana sangat pendek, lenggak lenggok. Banyak pula pemuda dan pemudi Muslim dengan hijab dan kopiah. Semua berbaur ceria disatukan oleh bola.
Kaos team sepakbola Jerman dan Argentina memenuhi jalan. Kaos itu dipakai tak hanya oleh warga negara itu. Tapi fans bola dari aneka negara juga memakainya, menyemarakkan suasana.
Agen tour kami sejak di Jakarta sudah memberi gambaran. Untuk di hari final, mobil tak bisa berhenti terlalu dekat ke stadion. Jumlah manusia yang akan tumpah di stadion begitu banyaknya. Kami harus berjalan kaki untuk menemukan tempat duduk.
Karena tak ingin rumit, sejak dari Jakarta sengaja saya pesan tiket pula untuk tour guide di sana. Biarlah tur guide yang bekerja. Kami santai saja mengikuti panduannya.
Saya ingat betapa senangnya tur guide itu, menemani kami menonton. Ia menelfon Ayahnya, menelfon kakeknya. Ia bercerita akhirnya mimpinya kesampain juga. Ia, mengekspresikan kebahagiannnya dalam bahasanya sendiri, mendapatkan “berkah Tuhan,” bisa menonton final sepak bola di barisan kursi VVIP.
Di stadion bertambah meluap kebahagian saya justru karena melihat meluapnya kegembiraan dua anak saya. Mata mereka berbinar-binar. Dari jarak dekat, mereka melihat Lionel Messi bergerak lincah di lapangan hijau. Walau mereka menyayangkan mengapa bukan Cristiano Ronaldo yang di sana, yang menjadi bintang bola mereka.
Sayapun hilang dalam luapan massa. Kembali menjadi bocah, berdiri, duduk, tepuk tangan, berteriak, tertawa, selama 90 menit, bersama puluhan ribu penonton.
Dalam gegap gempita massa, kadang saya terdiam. Saya menyadari betapa sepak bola ini sudah menyihir saya.