MENU

Undang-undang dan Perda Syariah: Ada atau Tidak Ada?

Oleh: Prof Yusril Ihza Mahendra
Seri tulisan merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?

Pada dasarnya syariah berisi asas-asas hukum, pengaturan-pengaturan yang bersifat umum dan tidak detil, kecuali di bidang hukum perkawinan dan kewarisan. Pengaturan yang bersifat asas dan umum itu adalah kebijaksanaan Ilahi, agar syariah itu dapat ditransformasikan ke dalam hukum positif (hukum yang berlaku di suatu tempat dan zaman tertentu), sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman.

Syariah bersifat abadi dan universal. Fungsinya adalah bimbingan dan petunjuk kepada pembentuk hukum (negara, pemerintah) dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif. Dalam konteks kehidupan masyarakat, syariah diulas oleh para ulama dan dimanifestasikan ke dalam pendapat dan fatwa para ulama, untuk dijadikan sebagai pedoman perilaku bagi masyarakat.

Dalam konteks negara, syariah dapat dijadikan sebagai sumber hukum, yakni rujukan dalam proses pembentukan hukum di pusat maupun di daerah. Di dunia internasional, syariah (terutama berkaitan dengan hukum perang dan perdamaian) sangat banyak dijadikan sebagai rujukan dalam penyusunan berbagai konvensi hukum internasional.

Guru saya, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum internasional, mengakui bahwa sumbangan terbesar dari hukum Islam ke dalam hukum internasional, adalah terletak pada hukum perang dan perdamaian. Konvensi Jenewa tentang Pengungsi dan Pampasan Perang, Konvensi Internasional tentang Tawanan Perang, sebagian besar mengadopsi syariah Islam dan ketentuan-ketentuan hukum perang dari zaman Nabi dan para sahabat.

Dengan uraian singkat di atas, apakah memang ada Perda Syariah atau Undang-Undang Syariah di negara kita ini? Secara formal tentu tidak ada. Namun secara substansial keberadaannya tentu tidak dapat dihindari. Sebab, ketika negara akan membentuk hukum, dalam arti merumuskan norma-norma hukum positif yang berlaku, maka negara tidak punya pilihan, kecuali mengangkat kesadaran hukum yang hidup di dalam kalangan rakyatnya sendiri, dan memformulasikannya menjadi hukum positif melalui proses legislasi.

Kalau negara itu bersifat demokrasi, maka kesadaran hukum rakyatlah yang akan dijadikan sebagai referensi utama dalam merumuskan norma hukum positif. Lain halnya, kalau negara itu bersifat diktator, maka kemauan elit penguasalah yang akan dituangkan menjadi hukum yang berlaku.

Jarang-jarang ada negara yang mampu melawan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Konstitusi Filipina, misalnya, menyatakan negaranya sebagai “negara sekuler.” Gereja Katolik Filipina berada di luar yurisdiksi Negara Filipina. Tetapi Presiden Gloria Macapagal Arroyo terpaksa memveto RUU yang membolehkan Keluarga Berencana (KB), yang sudah disahkan Senat Filipina.

Mengapa RUU KB di Filipina gagal disahkan? Karena mayoritas rakyat Filipina yang beragama Katolik mentaati doktrin Gereja Katolik, yang tidak membolehkan KB. Jadi negara yang mengaku sekuler itu ternyata tidak mampu melawan kesadaran hukum rakyatnya. Hukum Kanonik Gereja Katolik Roma tetap mempengaruhi kesadaran hukum rakyat Filipina.

Di negara kita, kita sama-sama mengakui bahwa Pancasila adalah “sumber dari segala sumber hokum,” dalam arti bahwa sila-sila dalam Pancasila itu adalah landasan falsafah dalam merumuskan norma-norma hukum. Norma hukum yang dirumuskan hendaknya secara filosofis tidak bertabrakan dengan sila-sila dalam Pancasila itu.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER