SERUJI.CO.ID – Kita kembali prihatin atas penetapan status tersangka terhadap Gubernur Jambi masa bakti 2016-2021 (metrotvnews.com, 2 Februari 2018). Penetapan tersebut menyusul terjadinya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap sejumlah pejabat Pemprov Jambi yang berupaya “menyuap” anggota DPRD pada November tahun lalu. Suap tersebut diduga berkaitan dengan kelancaran pembahasan RAPBD Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2018. Tentu kasus ini menambah daftar panjang kasus korupsi serta “praktek suap-menyuap” yang marak terjadi di berbagai daerah yang telah menyeret para Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Memperhatikan permasalahan ini, yaitu korupsi di sektor publik tentu mengusik rasa penasaran di benak kita, apa penyebabnya dan bagaimana solusinya? Tentunya telah banyak pendapat dan wacana yang disampaikan sejumlah pakar, akademisi, dan juga politisi. Sebagaimana ungkapan Ketua MPR sekaligus Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan, “Perlu ada yang dibenahi dalam sistem politik di Indonesia selama ini. Saya kira ini perlu perenungan bersama”. Pernyataan ini menanggapi kasus yang tengah membelit sang Gubernur, yang juga kebetulan adalah kader muda PAN (Metrotvnews.com, 1 Februari 2018).
Sebenarnya fenomena korupsi sektor publik terjadi di hampir semua Negara. Bukan hanya di Indonesia yang masuk dalam kategori negara yang belum mapan secara ekonomi. Namun korupsi sektor publikpun terjadi di negara yang sangat mapan perekonomiannya seperti Saudi Arabia. Beberapa waktu berselang, pemerintah Negeri Petro Dollar itu menertibkan sejumlah “pangeran kerajaan” yang dianggap terlibat korupsi.
Hasil Survei Korupsi Sektor Publik
Huberts, seorang profesor ilmu politik dan administrasi publik di Vrije Universiteit, Amsterdam, pernah menerbitkan suatu paper (1998) yang menarik mengenai “tindakan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi korupsi sektor publik”. Paper tersebut disusun berdasarkan hasil survei terhadap 257 pakar dari 49 negara yang dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu negara “higher income” dan “lower income”. Para pakar ini mewakili kalangan, diantaranya ilmuwan (38%), kepolisian dan kejaksaan (28%), lembaga anti korupsi (12%), auditor dan akuntan (10%), serta pengusaha dan konsultan (8%).
Pandangan para pakar tersebut menitikberatkan konsep bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan publik untuk kepentingan pribadi, yaitu diri sendiri, keluarga, kelompok ataupun partai politik. Sehingga disimpulkan korupsi sektor publik merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan publik, baik berupa tindakan maupun keputusan dari seorang politisi, pejabat publik, ataupun pegawai negeri demi kepentingan pribadi. Sementara Integritas sektor publik adalah segala tindakan dan keputusan yang mengikuti norma dan tingkah laku publik, dimana salah satu norma yang paling berterima umum adalah kepentingan pribadi tidak boleh mempengaruhi tanggung-jawab pejabat maupun aparatur publik.