MENU

Hijab, Perempuan dan Pembebasan: Tanggapan Untuk Sukmawati

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Sesungguhnya, feminitas yang diidentikkan dengan keindahan rambut, tubuh, suara perempuan, memang sudah ada sejak jaman Cleopatra. Namun, merujuk pada feminitas natural seperti ini, itu tidak menjelaskan posisi dan hirarki perempuan dalam sistem Sosial yang ada. Apalagi dikaitkan dengan analisa power.

R.A. Kartini dan saudarinya, misalnya, sibuk sepanjang hari berkonde dan menata rambutnya dalam sistem patriakat yang mengurung mereka di rumah, tanpa pendidikan. Mereka memang dipersepsikan akan cantik (ayu) dengan rambut berkonde dan pakaian berkebaya pada usia belianya. Tapi dalam persepsi siapa?

Dalam filmnya, Kartini justru sadar dan menolak pemingitan dirinya dengan konde dan kebaya hanya untuk menjadi komoditas sex para Bupati dan Ningrat Jawa kala itu. Mereka resah tubuh dan keayuannya serta seluruh hidupnya, hanya akan segera sirna dipelukan ningrat-ningrat beristri, hanya dijadikan selir.

Kartini mengidolakan pembebasan perempuan pada sosok wanita Belanda, teman korespondensinya, yang dia bayangkan tanpa kebaya, tanpa konde, tetapi rajin membaca.

Jadi, kalau Sukmawati mencari akar pertempuran identitas antara perempuan “ibu berkonde” versus lainnya, tentu bukan pada busana muslimah sebagai lawan. Konde dan kebaya sesungguhnya kalah melawan imajinasi wanita-wanita kita tentang wanita hebat, seperti dalam mimpi Kartini. Sebuah mimpi yang dibawa modernisasi dan westernisasi. Disinilah kesalahan Sukmawati.

Konsepsi Hijab

Hijab dalam Islam merupakan konsep tentang batas kebolehan perempuan dalam “public sphere“. Menurut Islam, wanita harus melindungi bagian sensualnya dari pandangan umum. Meski penafsiran tentang wilayah sensualitas ini bervariasi, namun mainstream ajaran Islam meyakini wajah dan telapak tangan boleh terbuka.

Konsep ini menempatkan wanita Islam terbebaskan dari pemangsa kapitalis, yang mendorong wanita justru mengekspouse wilayah sensuilnya. Selain itu konsep hijab juga menekankan kesederhanaan dan kecantikan hakikat (inner beauty). Bukan kecantikan biologis (saja), bukan tubuh maupun warna kulit, apalagi wilayah sensuilnya.

Dalam semua tesis tentang perempuan dan ekploitasi kapitalisme, perempuan disebutkan memang dijadikan komoditas. Persepsi perempuan cantik diciptakan industri kecantikan (kosmetik), fashion dan bahkan industri pornografi dan sex.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER