Ahmad Erani Yustika
Mayoritas warga bangsa tidak mengenalnya. Dia bukan politisi yang masyhur (setidaknya pada level nasional). Bukan pula aktor kondang atau pebisnis beken. Meski namanya kental unsur Arab, rasanya juga bukan da’i atau ulama tenar dengan jamaah mengular. Saya juga baru kenal hari ini, tapi belum begitu paham juga dengan detail latar jejak rekamnya yang lebih dalam. Siang tadi saya cuma tahu Ia adalah Bupati Lombok Utara, baru menjabat periode pertama (setelah masa sebelumnya menjadi Wakil Bupati), punya pondok pesantren (Kapolres Lombok Utara yang membisiki saya), dan pria dengan perawakan sedang.
Saya datang ke Lombok Utara dengan maksud tunggal: melihat fasilitasi pembangunan pasar kawasan (dan sekaligus meresmikan) oleh Ditjen PKP (Pembangunan Kawasan Perdesaan). Seperti biasa, kunjungan semacam ini selalu menjadi peristiwa birokratik-formal: panggung, sambutan, dan tanda tangan prasasti. Saya sebetulnya masih canggung dengan prosesi semacam itu, namun selalu tidak kuasa menahan hasrat pemerintah daerah untuk melanggengkan tradisi tersebut. Paling maksimal, saya cuma berhasil meminta acara disederhanakan, misalnya tanpa ada pengalungan bunga atau pengguntingan pita (ini pun juga tak selalu sukses).
Singkat kisah, tibalah Sang Bupati naik podium dan memberikan orasi. Saya sudah siap mental mendengarkan tausyiah normatif di tengah cuaca yang cukup terik. Tapi, kali ini saya memeroleh kejutan yang asik. Pidatonya padat, sistematis, dan yang paling membahagiakan: substansinya bertenaga. Ia visioner karena bertekad melindungi warga dari serbuan pemilik modal yang memenuhi sudut wilayah (misalnya melarang operasi minimarket). Dia juga pengemban misi yang mulia karena rakyatnya telah terpenuhi total kebutuhan pelayanan sosial dasar, khususnya asuransi kesehatan dan pendidikan. Lebih dari itu, matanya juga berbinar ketika menjelaskan ada alokasi anggaran Rp 30 miliar (di tengah jepitan fiskal) untuk mendorong pemuda-pemudi desa menjadi wirausahawan. Baginya, desa harus menjadi jendela keberhasilan Lombok Utara.
Siang yang terik itu membuat hari saya tak lagi panas, namun adem karena siraman kebijakan yang tajam tersebut. Saya tentu tak boleh terjebak hanya kepada kesan (apalagi sebatas lisan), tapi mesti terukur dengan bukti yang lebih sahih. Hal pertama yang saya lihat, kami membantu membangun pasar yang tak seberapa, dan ternyata pada lokasi yang sama Pemda Lombok Utara membangun pula pasar dengan volume 4-5 kali lipat. Ini baru pertama kali saya temui daerah yang memiliki komitmen seperti ini. Lantas, saya bertanya pula ke masyarakat, apakah memang nyata pemihakan pemimpinnya tersebut? Dengan sigap dijawab: antara ucapan dan perbuatannya tak ada selisih jarak.
Suatu saat saya mesti keliling sendiri ke kabupaten itu, memastikan apa yang sedikit saya lihat dan dengar itu memang gambar utuh dari wilayah yang baru pemekaran 10 tahun silam. Wajah teduh Pak Bupati semoga memang pancaran dari kesejukan batin seluruh warga. Aneka ujian masih harus dia hadapi pada hari-hari mendatang, seperti halnya perkara kehidupan sendiri yang silih berganti menghadang. Saya baru saja mengenal dan menyalaminya siang tadi, tapi hati saya merasa hangat layaknya bertemu sahabat lama, mungkin karena kebajikan dan ketulusan yang terpancar dari parasnya. Satu hal yang tak saya lupa, ia mengirim pesan: anak bangsa tak laik hidup nestapa.
Perjalanan Lombok – Jakarta,
20 Februari 2018
(Zyk/IwanS)