Utang dan Kemiskinan
Sri Mulyani berusaha menampilkan wajah protogonis dari seorang neoliberal atau memanipulasi wajah jahat sosok neolib terhadap orang-orang miskin seolah menjadi pahlawan, ketika membandingkan (dalam debat dengan ketua MPR) betapa belas kasihnya pemerintah terhadap orang-orang miskin dengan menambah anggaran kesehatan dan dana desa.
Saat ini, karena menjelang pemilu, Sri Mulyani berusaha melawan prinsipnya tersebut, demi membuat rakyat berterimakasih dengan rezim Jokowi. Sebagaimana terlihat anjuran menteri sosial beberapa waktu lalu, agar rakyat memilih kembali Jokowi karena anggaran bansos naik 100%.
Namun, sekali lagi, tindakan rezim jokowi kepada rakyat miskin ini akan mengalami dilema, khususnya ketika investor tidak berbaik hati. Sebagai pengutang, investor dan kreditor tentu ingin uangnya lebih utama dikembalkan ketimbang rejim Jokowi membengkakkan anggaran bantuan sosial itu.
Moody, lembaga pemberi rating, misalnya, meski menaikkan rating Indonesia pada bulan April dari Baa3 ke Baa2, namun sebulan kemudian telah memberi peringatan Indonesia sebagai negara beresiko tertinggi setelah India. Peringatan ini sebagai sinyal Moody tidak ingin kehilangan kredibilitasnya terhadap investor.
Sri Mulyani, sebagai eks petinggi IMF dan World Bank, pasti akan kembali pada preskripsi standard mereka, yakni “austerity” alias penghematan. Penghematan dalam setiap krisis artinya mengurangi biaya sosial dan memperparah nasib orang miskin.
Alhasil, dapat diperkirakan, “sogokan sosial” rejim Jokowi ini akan berumur pendek dan akan menjadi bumerang pada masa selanjutnya yang tidak terlalu lama. Jika subsidi hanya terjadi “secara kilat”, lalu hilang kemudiannya, akan memicu kekecewaan massa rakyat miskin tersebut.
Revolusi Sosial
Menarik benang merah antara utang dan revolusi sosial tentu sedikit rumit untuk dimengerti.
Sebenarnya, isu revolusi sosial ini adalah isu utama selama 4 tahun rezim Jokowi. Sementara masalah utang yang membengkak dipacu dollar meroket, adalah sumbu pemicu saja.
Apakah revolusi sosial itu?
Revolusi sosial yang menjadi beberapa tema selama 4 tahun belakangan ini adalah adanya tuntutan perubahan struktural dan adanya situasi ketegangan kultural dalam masyarakat. Perubahan struktural berupa adanya tuntutan “sharing of prosperity“, dimana kemiskinan dan ketimpangan sosial dianggap sudah begitu besar.
Tuntutan struktural bahayanya juga berimpit pula dengan tema pribumi vs asing/aseng. Sebuah tema laten di Indonesia.
Disamping hal struktural di atas, situasi kultural berupa “divided society” (masyarakat terbelah), sudah terjadi dan terus membara selama 4 tahun ini.
Sebuah kelompok selalu mengatasnamakan tema Pancasila dan Kebhinnekaan. Sedangkan kelompok lainnya mengatas namakan pribumi dan Islam.
Situasi struktural dan kultural di atas, apabila situasi krisis yang akan datang begitu dalam, tentu dapat menjadi pemicu “sumbu pendek” adanya ledakan sosial di masyarakat. Ditambah lagi ketegangan sosial akan terus berlangsung selama menuju pilpres 2019.
Beberapa bulan lalu, salah satu pemilik tanah perkebunan terbesar mengutus direktur perusahannya bertemu saya tentang bagaimana sutuasi nasional dan bagaimana seharusnya “sharing of prosperity” itu seharusnya. Hal ini, saat itu, dipicu “perang opini” antara Amien Rais dan LBP soal isu reformasi agraria.
Kepada utusannya tersebut, saya katakan bahwa “perdamaian” antara kaum kapitalis vs rakyat miskin harus paralel antara konsep “sharing of prosperity” dan ketulusan kaum kapitalis tersebut.
Ketulusan itu artinya mau berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, seperti misalnya, antara APINDO vs Serikat Buruh di awal masa reformasi.
Tentu saja ancaman revolusi sosial ini sesuatu yang buruk buat siapapun, khususnya rakyat kecil. Untuk itu, semua stake holders negara perlu berembug mencari “bantalan” agar krisis ekonomi ke depan tidak berdampak sebuah revolusi sosial.
Perjalanan politik jangan sampai disepelekan dengan ambisi ambisi kekuasaan semata, melainkan harus memikirkan kerjasama semua pihak mencari solusinya. Yakni, sensitif terhadap krisis ekonomi, memikirkan solidaritas kaya-miskin dan mengurangi ketegangan diametral.