
SERUJI.CO.ID – Dalam perjalanan bangsa, setiap era kepemimpinan selalu meninggalkan dua sisi: jasa dan luka. Tidak ada pemimpin yang sepenuhnya tanpa cela, sebagaimana tidak ada pemimpin yang seluruh kontribusinya dapat dihapus begitu saja.
Karena itu lah, penilaian terhadap sosok dalam sejarah membutuhkan kedewasaan kolektif, kemampuan untuk melihat secara utuh, bukan hitam-putih.
Dalam konteks inilah wacana mengenai pengusulan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional, perlu ditempatkan sebagai ruang perenungan nasional yang rasional, bukan emosional.
Dasarnya jelas: UU No: 20 Tahun 2009 mengatur bahwa gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada tokoh yang berjasa luar biasa, dengan pertimbangan sejarah, akademik, dan moral. Artinya, pembahasan ini bukan perkara politik sesaat, tetapi bagian dari cermin bagaimana bangsa ini memahami dirinya sendiri.
Kedewasaan sejarah justru terletak pada kemampuan untuk melihat seluruh spektrum pengalaman bangsa secara jernih dan visioner.
