JAKARTA – Pengamat transportasi publik Azas Tigor Nainggollan mengatakan munculnya bisnis transportasi dalam jaringan (daring) adalah bentuk dari tanggapan terhadap gejala sosial karena kurang layaknya kendaraan umum di wilayah tersebut.
“Di Jepang itu tidak ada transportasi daring, karena transportasi umumnya sudah dianggap memadai oleh masyarakat,” kata Azas Tigor dalam diskusi terkait “Transportasi online pasca putusan MA” di Jakarta, Sabtu (16/9).
Ia mengatakan di negara yang sudah maju rata-rata memang masih ada transportasi daring, sebab karena luasnya wilayah yang besar, maka beberapa daerahnya belum terjamah transportasi publik yang layak.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastadi mengatakan semua pihak harus sering duduk bersama dalam mengatasi polemik transportasi daring. Baik dari sisi pengusaha aplikasi serta konvensional, mitra (driver), pemerintah, hingga konsumen.
“Ini adalah bentuk dari industri kreatif yang berkembang pada zaman digital, jelas ini adalah revolusi industri 4.0, maka persaingan tetap harus ada, namun pemerintah cukup mengawasi saja, agar aturan baik untuk semua pihak,” katanya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan berjanji segera merampungkan uji publik penyusunan peraturan pengganti Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek alias taksi daring atau taksi online.