MEDAN, SERUJI.CO.ID – Tiandi Lukman selaku Pemilik PT Jasa Sumatera Travelindo dituntut selama 4 tahun penjara dan membayar denda dua kali lipat dari Rp 40 miliar lebih yakni Rp 81 miliar. Dia dianggap bersalah mendirikan beberapa perusahaan untuk membuat faktur pajak berdasarkan transaksi jual beli fiktif.
Dalam persidangan yang berlangsung di Ruang Cakra I Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (16/11) sore itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hendri Sipahutar juga memberikan tuntutan yang sama pada terdakwa Hendro Gunawan alias Aheng selaku Manajer Kantor Konsultan Pajak Adi Dharma Medan.
“Menuntut terdakwa Tiandi Lukman dan Hendro Gunawan alias Aheng masing-masing selama 4 tahun serta membayar denda masing-masing Rp 81 miliar,” ucap JPU Hendri di hadapan majelis hakim yang diketuai Marsudin Nainggolan.
Dalam sidang yang sama, JPU dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) itu juga menuntut terdakwa Rudi Nasution selaku Direktur PT Putri Windu Semesta selama 1 tahun 3 bulan penjara dan denda dua kali Rp 7 miliar lebih yakni Rp 15 miliar.Â
JPU menilai, terdakwa Tiandi dan Aheng terbukti mendirikan beberapa perusahaan untuk membuat faktur pajak berdasarkan transaksi jual beli fiktif. Sedangkan terdakwa Rudi, hanya mendirikan satu perusahaan.
“Perbuatan ketiga terdakwa terbukti melanggar Pasal 39 ayat (1) jo Pasal 43 ayat (1) UU RI No 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 16 Tahun 2000 jo UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana,” jelas Hendri.
Hakim Marsudin Nainggolan usai mendengarkan tuntutan JPU memberikan waktu kepada ketiga terdakwa maupun penasehat hukumnya untuk membuat nota pembelaan (pledoi) selama lima hari.
“Kita tunda sidangnya hingga Selasa (21/11) karena masa tahanan para terdakwa habis tanggal 2 Desember 2017,” ujar hakim Marsudin seraya mengetuk palu.
JPU Hendri mengaku kalau hukuman penjara terhadap ketiga terdakwa merupakan alternatif. Ia menegaskan bahwa petugas pajak akan tetap menagih kewajiban para terdakwa meski mereka telah menjalani hukuman penjara.
“Tetap ditagih (uang denda), tapi itu urusan pajak. Karena hukuman penjara ini alternatif. Prioritasnya uang pajak itu diselamatkan,” tegas Hendri.
Dalam kasus ini, satu terdakwa lain yakni Busra Ridwan alias Busro alias Bustomi selaku Direktur PT Batanghari Oilindo Palm juga telah diadili.
Dalam dakwaan JPU, pada tahun 2007, terdakwa Tiandi bersama Aheng mendirikan beberapa perusahaan untuk membuat faktur pajak berdasarkan transaksi jual beli fiktif yang bertujuan untuk mendapat keuntungan.
Mereka menawarkan kepada Busra sebagai Direktur pada sebuah perusahaan perdagangan minyak sawit. Busra menyetujuinya. Atas transaksi faktur pajak fiktif itu, PT Batanghari Oilindo Palm berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 8.572.906.218.
Selanjutnya, Tiandi bersama Hendro juga membuat transaksi fiktif pada PT Permata Witmas Hijau. Transaksi fiktif itu membuat PT Permata Witmas Hijau berpotensi menimbulkan kerugian pendapatan negara sebesar Rp 8.198.748.111.
Terdakwa Tiandi bersama Hendro juga membuat transaksi fiktif pada PT Cipta Karya Insani yang berpotensi menimbulkan kerugian pendapatan negara sebesar Rp 7.712.596.338.
Kemudian, PT Al Ansar Binasawindo Plantation sebesar Rp 8.230.964.674 dan PT Putri Windu Semesta sebesar Rp 7.958.502.580.
Berdasarkan hasil pendapat ahli penghitung kerugian pada pendapatan negara, nilai potensi kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp40,673 Miliar. (Mica/SU02)