JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 15 Kantor LBH se-Indonesia menolak langkah pemerintah yang mengeluarkan Peratuaran Pengganti Perundang-undangan Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Alasannya, regulasi yang diterbitkan untuk mengatur Ormas ini dianggap tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Ketua Umum Badan Pengurus YLBHI, Asfinawati, mengatakan Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan terkait penerbitan Perppu. Secara prosedural, pemerintah harus memenuhi persyaratan yang ada dalam putusan tersebut.
“Tiga syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 38/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas,” kata Asfinawati dalam keterangan tertulisnya yang diterima SERUJI, Kamis (13/7).
Menurut Asfinawati, kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Perppu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate.
“Pembatasan kebebasan berserikat hanya bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain,” paparnya.
Alasan adanya ancaman keamanan nasional yang diakibatkan Ormas tertentu, dianggap Asfinawati, hanya dalih. Adanya Ormas seperti HTI dianggap tidak cukup kuat untuk mengganggu keamanan nasional.
“Keamanan nasional misalnya tidak bisa diberlakukan sebagai alasan untuk memberlakukan pembatasan, untuk mencegah ancaman yang bersifat lokal atau relatif terisolasi kepada hukum dan ketertiban,” sebutnya.
Selain itu, penerbitan Perppu tersebut dinilai telah meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan ormas. Tindakan ini dapat dipandang sebagai bentuk arogansi negara.
Adanya frasa “penistaan agama” dalam Perppu Ormas juga menjadi sorotan YLBHI. Istilah yang sebelumnya tidak dikenal baik dalam pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965 yang menjadi asal usul penodaan agama dalam pasal 156a KUHP
“Perppu ini melanggengkan pasal karet warisan zaman revolusi yaitu penyalahgunaan, penodaan terhadap agama yang telah memakan banyak sekali korban dengan tindakan yang berbeda-beda karena memang ketentuan ini tidak jelas definisinya,” kata Asfinawati.
Upaya negara menjaga kedaulatan Bangsa dan Falsafah Negara ini, kata Asfinawati, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana mandat Konstitusi.
“Cara-cara represif dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin keras meyakini sesuatu,” ujarnya.
Lebih lanjut Asfinawati mengatakan, pihaknya meyakini pelanggaran suatu hak akan menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain.
Dalam pernyataan sikap penolakan tersebut, YLBHI bersama 15 Kantor LBH se-Indonesia diantaranya: LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Palembang, LBH Bandar Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Yogyakarta, LBH Semarang, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Makassar, LBH Manado, LBH Papua.
Diberitakan sebelumnya, pada tanggal 10 Juli 2017, pemerintah telah mengundangkan Perppu No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengumumkan penerbitan Perppu Ormas pada Rabu (12/7).
Wiranto mengatakan Perppu tersebut diterbitkan akibat situasi yang mendesak karena perkembangan terkini, sementara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas belum memadai.
Penerbitan Perppu ini kemudian mendapatkan reaksi yang beragam dari masyarakat. (IwanY)