JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan mengatakan bahwa saat ini penyidik sedang fokus untuk merampungkan berkas Setya Novanto, tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan poyek KTP-e tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
“Terkait Setya Novanto (SN), penyidik konsentrasi menyelesaikan berkas. Saksi-saksi sudah dipanggil beberapa kalau sudah sempurna baru bisa diajukan untuk disidangkan,” ujar Basaria di Jakarta, Kamis (27/7).
Ia juga menyatakan penahanan terhadap Setya Novanto tergantung dari kelengkapan berkas dari penyidik. Sehingga jika sudah tercukupi, sebelum persidangan Setnov dipastikan akan ditahan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
“KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7).
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (HA)