MENU

Sumbangsih Pemikiran Untuk Jam’iyah Nahdatul Ulama

بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam senantiasa tercurah bagi Rasulullah.

Menelisik ulang sejarah perjuangan para ulama Aswaja di Nusantara.

Nahdlatul Ulama secara etimologis mempunyai arti “Kebangkitan Ulama” atau “Bangkitnya para Ulama”, sebuah organisasi yang didirikan sebagai tempat berhimpun seluruh Ulama dan umat Islam.

Penggunaan istilah Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) bila ditinjau dari sejarahnya (dan dari pengertian di atas), menurut sebagian ahli sejarah keislaman mengatakan, “Madzhab Ahlussunnah wal jama’ah merupakan madzhab merupakan madzhab lama yang sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Karena sesungguhnya ia merupakan madzhab sahabat, dimana mereka menerima dari Nabi mereka, dan barangsiapa menyalahinya maka mereka merupakan orang yang melakukan bid’ah menurut Ahlussunnah wal Jamaah.”

Dalam keterangan PBNU Lembaga Ta’mir Masjid,( 2014), halaman 7 disebutkan, bahwa jaman dahulu, para tokoh Islam kalangan pesantren, sangat gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916.

Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.

Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi kala itu, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.

Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman.

Setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).

Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar. KH. Hasyim Asy’ari mengatakan: “Aswaja versi NU yaitu golongan orang-orang yang mengikuti 4 imam madzab di bidang fiqih, sedangkan di bidang teologi mengikuti pendapat Imam Abu Hasan Al-Asy’ari atau Imam Abu manshur al-Maturidi, dan mengikuti pendapat Imam al-Ghazali di bidang tashawwuf.”

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.

Dalam buku itu KH. Hasyim Asy’ari banyak menekankan kewajibab Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yaitu mendorong perbuatan baik dan mencegah kemunkaran dalam segala sisi, khususnya di bidang aqidah keyakinan serta amaliyah keseharian.

Namun realita dewasa ini, banyak tokoh-tokoh Aswaja, yang telah meninggalkan amanat perjuangan para pahlawah Islam sebagaimana tersebut di atas. Karena itu, saat ini banyak warga masyarakat yang merasa sangat rindu terhadap kehadiran sosok ulama sekelas KH. Hasyim Asy’ari, ulama yang memiliki ghirah (kepedulian tinggi), selalu tegas dan tidak lamban dalam menangani problematika keumatan di Indonesia, khususnya dalam intern umat Islam terlebih di kalangan warga NU sendiri.

Karena langkanya ulama yang mewarisi sifat perjuangan KH. Hasyim Asy’ari, maka dampak buruknya banyak warga masyarakat akar rumput yang merasakan kekhawatiran terhadap kondisi bangsa akhir-akhir ini.

Kehidupan mereka telah terombang-ambing oleh derasnya pengaruh liberalisasi dan westernisasi di lingkungan masyarakat yang kurang diantisipasi oleh tokoh-tokoh NU.

Kehidupan mereka telah terombang-ambing oleh derasnya pengaruh liberalisasi dan westernisasi di lingkungan masyarakat yang kurang diantisipasi oleh tokoh-tokoh NU.

Oleh karena itu, agar pemikiran dan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari terus menjiwai NU, beberapa hal ini diharapkan dapat dilakukan:

1. Kitab-kitab KH. Hasyim Asy’ari dimasukkan materi pengkaderan NU di setiap tingkatan, baik untuk PBNU, PWNU, PCNU, Lembaga, Badan, dan Banom.

2. Dibuat kriteria rinci syarat-syarat calon pimpinan NU yang jelas dan tegas berakidah, bersyariah, dan berakhlak Ahlusunah wal Jamaah sesuai ajaran KH. Hasyim Asy’ari. Tidak ikut aliran Wahabi, Syiah, dan Liberal.

3. Diusahakan sungguh-sungguh penguatan peran dan pengaruh Syuriah di atas Tanfidziyah, termasuk hak veto untuk membatalkan keputusan Tanfidziyah yang merugikan NU secara organisasi. Karena Syuriah adalah pimpinan tertinggi NU.

4. Bila ada pengurus NU yang melanggar batas-batas akidah, syariah, dan akhlak Ahlusunah wal Jamaah yang diajarkan KH. Hasyim Asy’ari, maka layak diberi teguran tegas secara tertulis dan terbuka, dan bila masih mengulangi segera diberhentikan dari jabatannya.

Lobi Hotel Grand Kali Mas Surabaya, 21 Maret 2017.

(Diskusi dihadiri oleh sejumlah Aktifis Kultural NU Jawa Timur).

TTD PENANGGUNG JAWAB

1. KH. LUTHFI BASHORI, MALANG
2. KH. IDRUS RAMLI, JEMBER
3. KH. MUQTAFI ASCHAL, BANGKALAN
4. KH. ABBAS RAHBINI, LONDON

EDITOR: Iwan S

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER