COX’S BAZAR, SERUJI.CO.ID – Sementara kaum Muslim Myanmar terusir dari kampung mereka, tak seorang perempuan pun aman dari resiko serangan seksual karena perkosaan digunakan sebagai senjata dalam krisis Rohingya. Demikian diungkapkan kata ahli di lapangan dan mereka yang terjebak dalam krisis.
Para dokter yang merawat beberapa ratus ribu Muslim Rohingya yang telah menyelamatkan diri ke Bangladesh dari Myanmar selama beberapa pekan belakangan telah menyaksikan puluhan perempuan dengan cedera yang sesuai dengan serangan kekerasan seksual, kata beberapa dokter PBB.
Dan semua perempuan yang diwawancara oleh wartawan Thomson Reuters Foundation, Sabtu (21/10) siang, bercerita mengenai perkosaan dengan kekerasan oleh pasukan keamanan Myanmar saat mereka meninggalkan rumah mereka, bagian dari pengungsian besar-besaran kaum Rohingya.
“Militer Myanmar dengan jelas telah menggunakan perkosaan sebagai salah satu dari sejumlah metode mengerikan pembersihan etnik terhadap kaum Rohingya,” kata Skye Wheeler, ahli kekerasan seksual di Human Rights Watch yang telah menilai kamp yang terisi dengan cepat.
“Perkosaan dan bentuk lain kekerasan seksual telah tersebar dan sistematis serta brutal, merendahkan martabat dan menimbulkan trauma,” kata wanita pegiat tersebut kepada Thomson Reuters Foundation.
Warga desa yang menyelamatkan diri dari kekerasan mengatakan perkosaan adalah senjata rutin dalam persenjataan militer, dan PBB sekarang membuat penilaian apakah kekerasan itu berubah menjadi pemusnahan suku bangsa.
Perkosaan berkelompok
Apa pun definisi hukumnya, Nurshida –yang berusia 18 tahun– hanya mengetahui dengan sangat baik apa yang terjadi pada dirinya. Ketika berbicara dengan wartawan Thomson Reuters Foundation dari kampnya yang relatif aman, Nurshida mengenang bagaimana kelasnya yang terdiri atas 30 siswa berbaris tanpa suara memasuki sekolah mereka pada September. Mereka berbaris di bawah todongan senjata oleh tentara berseragam, lalu digiring ke auditorium utama.
Semua siswi tersebut, kata Nurshida, ketakutan dan berkumpul di satu sudut, sementara kaum pria itu memperkosa mereka.
Nurshida, yang memiliki kulit cerah, mengatakan ia dipilih pertama oleh kelompok enam tentara yang membawa senjata api dan parang.
Nurshida dan teman-temannya mengalami perlakuan kasar dan tak manusiawi.
Pemerintah Bangladesh mengatakan cerita Nurshida cocok dengan pola serupa yang mengerikan.
“Cerita kami merujuk kepada perkosaan yang digunakan secara strategis sebagai senjata perang,” kata Rashed Hasan, seorang letnan kolonel di Angkatan Darat Bangladesh.
Perempuan dari segala usia dan latar-belakang telah melaporkan serangan seksual brutal serupa –serta menyaksikan pembunuhan anggota keluarga, kehilangan anak dan dipaksa meninggalkan rumah mereka.
“Perkosaan adalah perbuatan kekuatan. Perbuatan itu tak mengenal diskriminasi dalam hal usia, seks atau suku,” kata Saba Zariv dari Dana Penduduk PBB kepada wartawan Thomson Reuters Foundation. (Reuters/Ant/SU02)