JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Pelaporan atas Rocky Gerung, akademisi UI dan salah satu pendiri SETARA Institute ke Polda Metro Jaya dianggap kembali mempertegas bahwa delik penyebaran kebencian atas dasar SARA dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan juga delik penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP adalah pasal karet yang tidak memiliki batasan presisi pada jenis-jenis tindakan seperti apa delik itu bisa diterapkan.
Ketua SETARA Institute, Hendardi mengatakan dengan rumusan yang sumir delik-delik semacam itu bisa menjerat siapapun.
“Sejak awal SETARA Institute menganggap bahwa ketentuan-ketentuan di atas adalah bermasalah dan memasung kebebasan dan hak asasi manusia. Kasus Rocky adalah contoh nyata terbaru bagaimana kebebasan berpendapat dipasung dan bisa dikriminalisasi,” ujar Hendardi kepada SERUJI, Jumat (13/4).
Menurutnya, apa yang dikatakan Rocky tentang diksi fiksi adalah bagian dari pengetahuan ilmiah yang bisa diuji secara logis dalam Ilmu Logika.
Sebagai pengetahuan, lanjutnya, maka Rocky bebas menyampaikannya dan bahkan justru memberikan pencerahan banyak orang yang selama ini melekatkan keburukan dan sifat negatif pada diksi yang netral itu.
“Sebagai pengetahuan pula, maka seyogyanya pandangan Rocky cukup dijawab dengan pandangan yang membantahnya bukan dengan pelaporan pidana. Apalagi pernyataan itu disampaikan dalam forum diskusi dan tegas sekali tidak ada pretensi dan niat jahat merendahkan agama, kelompok, dan sebagainya,” kata Hendardi.
Dia menegaskan, kepolisian semestinya pula tidak gegabah memproses laporan-laporan kasus seperti itu karena kebebasan sesungguhnya hak setiap warga negara yang bisa dinikmati dan bukan dipasung.
Menurutnya, pembatasan kebebasan berpendapat akan mematikan nalar kritis warga yang justru dibutuhkan untuk memperkuat dan mendewasakan kita berdemokrasi.
Agar tidak menjadi keranjang sampah laporan-laporan kasus seperti ini, kata Hendardi, apalagi banyak didasari oleh motif-motif politik, Polri mesti memiliki pedoman kerja yang rigid dan akuntabel dalam menangani laporan warga.
Menurutnya, karena Polri bukan alat konstestasi politik, maka kecermatan menangkap motif pelaporan adalah bagian kunci yang harus menjadi pertimbangan Polri dalam bertindak.
“Jika tidak peka dan presisi dalam bertindak, trial by the mob akan menjadi pola penegakan hukum di Republik ini,” pungkasnya. (ArifKF/Hrn)