MENU

Polemik Muslim Uighur, GP Ansor Tak Setuju Pelabelan Pemerintah Tiongkok Anti-Islam

JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menyatakan tidak setuju dengan pelabelan Pemerintah Tiongkok anti-Islam terkait persoalan muslim Uighur di Xinjiang, China.

“Pelabelan anti-Islam itu prematur, reaktif, tergesa-gesa, dan mengesampingkan fakta sejarah,” kata Yaqut Cholil dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (21/12).

Pria yang akrab disapa Gus Yaqut ini mengatakan, fakta terkait Xinjiang juga dibelokkan sedemikian rupa sehingga menjadi senjata dari kekuatan politik tertentu untuk menyerang kekuatan politik lainnya. Fakta yang dihimpun GP Ansor sangat jauh berbeda dengan sebaran isu di Indonesia.

“Berita yang tersebar bahwa Pemerintah Tiongkok anti-Islam adalah pesan yang dibawa kepentingan tertentu, menunggang pada kekuatan politik tertentu, dengan tujuan membawa segala macam krisis tersebut ke Indonesia,” kata Gus Yaqut.

Menurutnya, persoalan muslim Uighur di Xinjiang adalah persoalan yang sangat kompleks sehingga tidak bisa hanya dilihat satu segi.

“Persoalan ini sudah dimulai sejak Tiongkok masih dalam masa kedinastian,” terangnya.

Menurutnya, GP Ansor akan mengutuk jika benar ada represi terhadap warga muslim Uighur yang melanggar hak asasi manusia (HAM).

Namun, lanjutnya, tindakan Pemerintah Tiongkok dalam menanggulangi persoalan separatisme, ekstremisme, dan terorisme tidak boleh diabaikan.

“Separatisme ini tentu saja ditangani Pemerintah Tiongkok dengan cara dan langkah mereka yang harus dihormati oleh semua pihak karena menyangkut kedaulatan sebuah negara bangsa,” ujarnya.

Ia lantas menyamakan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menangani gerakan separatisme dan terorisme sehingga tidak ada hak bagi entitas negara mana pun untuk ikut campur urusan dalam negeri negara berdaulat yang lain.

“Untuk itu, GP Ansor mengajak pada semua pihak untuk menyikapi persoalan Xianjiang ini dengan bijak, dan tidak memanfaatkan kejadian ini untuk tujuan-tujuan yang bisa memperkeruh suasana bangsa kita sendiri,” pungkasnya. (SU05)

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

73 KOMENTAR

  1. Surat Terbuka untuk HMI yang Unjuk Rasa Bela Muslim Uyghur di Cina
    Islampres.comFriday, December 21, 2018Berita Internasional

    Foto Istimewa

    Islampers.com – Jakarta
    Oleh Novi Basuki, santri yang kini terdaftar sebagai Mahasiswa Sun Yat-sen University, Guangdong, Cina.

    Baca juga:
    Politisasi Uyghur atas dalih kemanusian dan keagamaan
    Surat Terbuka untuk HMI yang Unjuk Rasa Bela Muslim Uyghur di Cina
    Mahasiswa Indonesia di Xinjiang Jelaskan Bagaimana Islam Menyebar Disana
    Santri yang lagi kuliah di Cina ini bikin surat terbuka untuk sahabat-sahabat HMI yang melakukan demo ke Kedutaan Besar Cina di Jakarta soal bela muslim Uighur.

    Oke, jadi begini.

    Disebabkan kakanda dan ayunda sekalian sudah ngegas duluan dengan menggelar unjuk rasa serempak di beberapa kota wabil khusus di Kedutaan Besar Cina di Jakarta, saya merasa tak perlu untuk banyak berbasa-basi di surat ini. Saya mau langsung ke pokok permasalahan saja.

    Begini. Ada satu kalimat dalam Kitab Han (Han Shu) susunan Ban Gu (32–92) yang berbunyi: “Bai wen bu ru yi jian.”

    Terjemahan ugal-ugalannya: “Informasi yang didapat dari mendengar penuturan orang sebanyak seratus kali, keakuratannya akan kalah dengan yang diperoleh dari melihat sendiri meski cuma sekali.”

    Saya tiba-tiba kepikiran wejangan tersebut sehabis membaca berita berisi pernyataan kakanda Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Ketum PB HMI) yang bilang kaum Uighur di Xinjiang “dilarang beragama” oleh Pemerintah Cina.

    Terus terang saya kaget dibuatnya. Awalnya saya kira medianya yang salah kutip. Eh, setelah saya menemukan video di Youtube, ternyata kakanda Ketum PB HMI memang mengatakan begitu dalam orasinya yang heroik di depan gedung Kedubes Cina, kemarin (18/12).

    Saya jadi pengin tahu dari mana sebenarnya kakanda Ketum PB HMI mendapatkan informasi itu? Semoga bukan dari Ibu Ratna Sarumpaet ya?

    Bukan apa. Sependek dan sesempit pengetahuan saya yang sejak 2010 menimba ilmu di Cina, saya tidak pernah tahu kalau Pemerintah Cina sampai melarang warganya dari suku mana pun untuk menganut agama apa saja yang hendak diimani.

    Mau memeluk agama yang mesiasnya bernama Hulaihi Wasalam—umpamanya—ha monggoh. Tak akan ada masalah. Konstitusi Cina menjaminnya.

    Makanya, kalau kakanda Ketum PB HMI lagi selo, saya sarankan membaca soal jaminan kebebasan beragama ini dalam Undang-Undang Dasar Cina Bab 2 Pasal 36. Agar nggak ganggu jadwal demo kakanda Ketum PB HMI yang padat merayap, saya bantu kutipkan sekaligus alihbahasakan di sini:

    Warga negara Cina mempunyai kebebasan beragama. Instansi negara, kelompok masyarakat, dan perorangan tidak boleh memaksa warga negara untuk menganut agama atau tidak menganut agama.

    Tidak boleh mendiskriminasi warga negara yang menganut agama dan yang tidak menganut agama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal (zhengchang de zongjiao huodong). Siapa pun tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warga negara, dan merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan
    agama.”

    Na‘am, yang dijamin sama Pemerintah Cina bukan hanya kebebasan warganya untuk beragama, melainkan pula kebebasan mereka untuk tidak beragama dengan menjadi ateis a.k.a kafir kafah.

    Sedangkan bagi yang beragama, Pemerintah akan terus berusaha mengayomi sepanjang aktivitas keagamaannya tetap berada dalam koridor “normal” alias tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku.

    Mungkin terkecuali di bumi datar, saya haqqul yaqin tidak akan ada negara mana pun di bumi bulat ini yang akan tinggal diam mengetahui aktivitas keagamaan warganya yang kerjaannya memprovokasi jemaatnya untuk memberontak kepada pemerintahan yang sah, misalnya.

    Sialnya, justru hal seperti itulah yang kini terjadi di Xinjiang yang kebetulan penduduknya mayoritas bersuku Uighur penganut agama Islam.

    Kita tahu, orang-orang Uighur—terutama yang tinggal di Xinjiang bagian selatan—memang sudah lama ingin memerdekakan diri dari Cina. Bahkan sejak Cina masih dikuasai Dinasti Qing. Yakni sebelum Cina diperintah Partai Nasionalis yang pengaruhnya sejak 1949 disingkirkan Partai Komunis sampai sekarang.

    Sejak dulu—sebagaimana dipaparkan Wang Ke dalam mahakaryanya yang berjudul Dong Tujuesitan Duli Yundong: 1930 Niandai zhi 1940 Niandai (Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur: 1930–1940) terbitan The Chinese University of Hong Kong—kelompok-kelompok separatis Xinjiang memang menggunakan agama (dalam hal ini Islam) untuk melegitimasi gerakannya.

    Kenapa? Sebab, kata guru besar Kobe University itu, hanya agamalah yang bisa dipakai buat menarik simpati suku lain yang juga tinggal di sana. Andaikan kelompok-kelompok separatis Uighur memakai isu kesukuan, niscaya muslim bersuku Kazakhs yang juga tak sedikit jumlahnya di Xinjiang, akan sulit bersimpati kepada mereka.

    Terbukti, bahkan kakanda dan ayunda yang berada di Indonesia pun bersimpati—untuk tidak menyebut “terkompori”. Padahal, yang dibidik oleh Pemerintah Cina—baik tatkala masih kedinastian maupun sekarang yang komunis—bukanlah agamanya. Juga bukanlah muslim yang moderat. Melainkan kelompok-kelompok separatis yang menggulirkan sentimen agama guna mencapai tujuan politiknya.

    Anehnya, kelompok-kelompok separatis ini agaknya tidak benar-benar berniat memperjuangkan Islam. Buktinya, Jüme Tahir, imam besar Masjid Id Kah Xinjiang yang terkenal moderat dan pro-pemerintah itu pun dihabisi dengan keji selepas memimpin salat Subuh pada 30 Juli 2014 silam.

    Akhirnya saya jadi bertanya-tanya: yang dibela oleh kakanda dan ayunda itu muslim Uighur yang mana?

    Muslim Uighur yang moderat?

    Meski sebenarnya mereka sih kayaknya nggak perlu dibela juga. Karena sepengamatan saya, mereka masih bisa beribadah dan berbisnis laiknya sedia kala. Ayo deh, mari kapan-kapan saya temani kakanda dan ayunda pergi ke Xinjiang untuk mengetahuinya. Ajak Abang Fadli Zon juga boleh deh.

    Atau muslim Uighur yang suka membikin gaduh suasana Xinjiang pakai isu agama buat meraih agenda politiknya yang kakanda dan ayunda bela?

    Ingat, justru muslim garis kaku nan ngamukan macam itulah yang—kata Profesor Beijing Foreign Studies University Xue Qingguo dalam esai bahasa Arabnya di harian Al-Hayat edisi 30 Agustus 2017—merusak citra Islam sebagai agama yang damai dan menjadikan “beberapa tahun belakangan Islamophobia mempunyai pangsa pasar yang cukup signifikan di Cina”.

    Sebentar, sebentar, ini saya ngomongin negara mana sih sebenarnya? Kok rasanya rada-rada mirip sama sebuah negeri yang bentar lagi mau Pilpres ya?

    Sumber : mojok.co

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER