YOGYAKARTA, SERUJI.CO.ID – Empat perwira TNI menolak diberi penghargaan kenaikan pangkat karena berhasil membebaskan ratusan warga Tembagapura Papua yang disandera kelompok separatis.
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengapresiasi apa yang dilakukan empat perwira TNI tersebut. Menurutnya, itu sikap perwira yang luar biasa.
“Sosok-sosok pemimpin yang tanpa pamrih ia bekerja. Bukan jiwa opurtunis yang menjadikan anak buah menjadi kuda tunggangan kepentingan egoismenya. Patut kita apresiasi, dan menjadi “nasehat” bagi para pemimpin lainnya,” ujar Harits melalui pesan singkat yang diterima SERUJI di Yogyakarta, Ahad (19/11).
Perlu diketahui, seharusnya ada 62 anggota TNI yang mendapatkan penghargaan dari Panglima TNI, namun hanya 58 yang bersedia menerimanya. Empat perwira tersebut menolak karena keberhasilan adalah milik anak buah, namun kegagalan tanggungjawab Perwira.
Harits menerangkan, hari ini ternyata masih ada abdi pembela negara yang tulus bekerja bukan orentasinya jabatan dan pangkat, di saat banyak orang mati-matian dengan berbagai cara yang culas untuk menjilat, membangun citra dirinya agar bisa meraih pangkat dan kedudukan lebih tinggi lagi di hadapan masyarakat.
Menurutnya, di medan tempur yang sesungguhnya, akan tampak watak dan watek asli seseorang. Apakah ia sosok yang hipokrit atau sebaliknya.
Tapi ingat, kata Harits, di luar sikap penuh tauladan para perwira pemimpin operasi tersebut, persoalan utamanya yaitu eksistensi OPM belum tuntas. Menurutnya, OPM masih eksis dengan jejaring mereka baik domestik maupun internasional.
“Potensi ancaman dan teror dari OPM masih sangat besar baik secara sporadis maupun sistemik di tanah Papua,” ujar Harits.
Harits beranggapan, ini semua harus dituntaskan sampai ke akar-akarnya demi kedaulatan NKRI. Menurutnya, itu karena OPM tersebut dimensinya politis dan sangat aneh kalau hari ini dikotaki dengan terminologi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). (ArifKF/SU02)