SURABAYA, SERUJI.CO.ID – Terkait kasus pelecehan seksual oknum guru kepada 65 muridnya di sebuah sekolah SD swasta di Surabaya beberapa waktu lalu, mantan anggota Dewan Pendidikan Jatim, Sulistyoso Soejoso memberikan telaah mendalam terhadap aspek anak yang mejadi korban kekerasan seksual.
Ditemui dikediamannya di Kutisari Utara Surabaya, Sulistyoso mengaku mengapresiasi upaya pemulihan mental korban yang dilakukan berbagai pihak terhadap korban, namun ia memastikan dampak negatif tidak akan sepenuhnya hilang.
“Sekuat apapun pemulihan dilakukan, itu tidak bisa memulihkan kembali seperti sediakala. Yang bisa hanyalah mengurangi dampak negatif, ada bekas, dan itu terbawa seumur hidup,” jelasnya, Senin (26/2).
Pria yang juga kolektor tanaman bonsai ini mengecam keras pelecehan seksual terhadap siswa, yang dapat dipastikan akan berdampak buruk dan sulit dihilangkan.
“Jangan kemudian berifkir ‘wong cuma dipegang-pegang tok’. Ini biasanya pembelaan dari kalangan yang ingin peristiwa itu tidak kelihatan besar. Jadi sekarang yang disoroti kalangan media, bagaimana sikap guru, kepala sekolah dan yayasan sekolah itu,” ujarnya.
Selain itu, Sulistyono berharap adanya perubahan paradigma pendidikan yang saat ini cenderung masih menerapkan cara-cara keras kepada siswa.
“Mayoritas guru mengatakan ‘Pendididkan itu kadang-kadang harus keras begitu, asal tujuannya mendidik’. Pertanyaannya seberapa jauh mereka punya batasan maksimalnya,” tukasnya.
Baca juga: Prihatin Kasus Pencabulan Guru ke Siswa, Berikut Rekomendasi Dewan Pendidikan Surabaya
Ia tidak sepakat dengan anggapan umum semacam itu, lantaran tindakan kekerasan sudah dapat dipastikan didahului faktor emosional.
“Bagimana tindakan itu bisa memberikan kesadaran untuk membatasi. Misal ada orang yang bilang ‘wong siswa di jewer saja kok, orang tua protes’. Tidak bisa dengan kata-kata dijewer, harus didalami lebih jauh. Dijewernya seberapa,” jelasnya.
Baca juga: Kasus Pencabulan Siswa, Sekolah Dinilai Tidak Peka Terhadap Aduan Orang Tua Korban
Laki-laki kelahiran Kediri ini menyebut kekerasan kepada anak sudah menjadi gejala di masyarakat berbagai belahan dunia. Sudah saatnya ada suatu perubahan paradigma pendidikan yang semata menekankan penguasaan ilmu pengetahuan, berubah ke arah perbaikan moral dan akhlak.
“Maka kemudian, syahwat penguasaan pengetahuan dan ilmu ini harus dikurangi, artinya harus imbang pada perbaikan akhlak,” pungkasnya. (Luh/Hrn)