Mungkin Anda segera membantah dengan mengatakan bahwa pemegang saham sama dengan pemilik. Tetapi tidak. Perhatikan narasi berikut ini. Misalnya si saya punya seekor sapi. Jika sapi itu mengamuk dan merusak mobil Anda, maka Anda tidak bisa menuntut si sapi. Mengapa? Karena sapi bukan legal entity. Dan karena bukan legal entity maka sapi ada pemiliknya. Pemiliknya adalah saya. Sebagai pemilik saya bertanggung jawab sepenuhnya terhadap apa yang saya miliki. Maka atas kerusakan mobil Anda, sayalah yang bertanggung jawab. Sayalah yang bisa Anda tuntut, bukan sapi.
Tetapi misalnya, saya adalah pemegang 1000 lembar saham PT ABC yang bergerak di bidang taksi. Total lembar saham yang telah diterbitkan PT ABC misalnya 1500 lembar. Yang 500 dipegang oleh kawan saya si B misalnya. Lalu PT ABC melakukan sebuah tindakan hukum yang merugikan Anda. Misalnya saja taksi dari PT ABC menabrak mobil Anda yang sedang diparkir. Mobil Anda rusak parah. Maka Anda tidak bisa menuntut saya. Atau si B.
Anda harus menuntut PT ABC karena PT ABC adalah badan hukum alias legal entity. Dalam Undang Undang PT diatur bahwa yang mewakili PT sebagai badan hukum dalam urusan tuntutan seperti itu adalah direkturnya. Bukan saya. Saya bertanggung jawab sebatas uang yang telah saya setor sebagai modal di PT itu yang ditukar dengan sekian lembar saham PT ABC. Direktur bisa bertanggung jawab sampai harta pribadinya, demikian menurut undang Undang PT.
Badan hukum itu punya hak dan kewajiban seperti manusia. Badan hukum tidak bisa dimiliki sebagaimana manusia juga tidak bisa dimiliki. Sebagai gambaran Eva Celia adalah anak Sophia Latjuba. Sekali lagi, statusnya anak. Tidak bisa dikatakan bahwa Eva adalah milik Sophia Latjuba. Manusia tidak bisa dimiliki. Demikian juga PT. PT ABC tidak bisa dimiliki oleh saya atau siapa pun.
Argumen ketiga, dengan adanya lembar saham pada sebuah korporasi, konsekuensinya akan muncul yang namanya par value, book value dan market value dan valuasi. Selisih antara antara market value dan book value adalah intangible asset.
Intangible aset bisa diuangkan melalui penerbitan saham baru. Hasilnya adalah uang dengan biaya modal (cost of capital) yang murah. Hanya sekitar 2-3% per tahun. Inilah yang menjadikan sebuah perusahaan bisa melakukan scale up untuk tumbuh pesat secara eksponensial. Menjadi korporasi sejati. Hal ini tidak bisa dilakukan jika Anda masih berpandangan business owner.
Mengapa tidak bisa? Karena business owner memandang yang dimiliki adalah perusahaan. Bahkan aset perusahaan. Misal dalam contoh PT ABC di atas, dengan paradigman business owner maka aset saya adalah PT ABC itu sendiri. Bahkan aset yang ada di dalam PT ABC itu.
Misalnya PT ABC membeli mobil untuk operasional maka dengan paradigma business owner mobil itu menjadi milik saya. Kesalahan ini pernah dilakukan oleh Pak Jokowi dan pak Prabowo pada debat Capres tahun 2019 tentang kepemilikan tanah. Pak Jokowi mengatakan bahwa pak Prabowo punya tanah 250 ribu hektar di Aceh dan 150 ribu hektar di Kalimantan Timur. Pak Prabowo juga membenarkannya. Bahkan pak JK sebagai wapres ketika itu juga membenarkannya. Padahal sebenarnya tanah itu bukan milik Pak Prabowo. Tapi milik sebuah badan hukum PT.