MENU

Undang-undang dan Perda Syariah: Ada atau Tidak Ada?

Oleh: Prof Yusril Ihza Mahendra
Seri tulisan merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?

Sementara norma-norma hukum yang bersifat asas dan umum, bahkan telah menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat, adalah terdapat di dalam hukum Islam, hukum Adat, dan hukum eks-kolonial Belanda, yang telah diterima oleh masyarakat kita. Corak hukum kita, sesungguhnya sadar atau tidak sadar, memang mencerminkan ketiga sistem hukum itu.

Karena itu, jika kita merumuskan norma Undang-Undang Lalu Lintas, misalnya, sadar atau tidak sadar, norma hukum Islam, hukum Adat, dan hukum eks-kolonial Belanda sama-sama ditransformasikan ke dalam norma undang-undang itu. Jadi secara substansial, norma-norma dari ketiga sistem hukum itu seolah menyatu ke dalam UU Lalu Lintas tersebut.

Meskipun demikian, memang ada norma-hukum yang secara spesifik diperlukan keberlakuannya hanya bagi umat Islam saja. Yakni, hukum materil yang dijadikan dasar bagi pengadilan agama, dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang menjadi kewenangannya. Keberadaan Pengadilan Agama kini telah disebutkan secara tegas oleh UUD 1945 hasil amademen. UU Peradilan Agama sudah kita miliki.

Tetapi hukum materil untuk dijadikan landasan bagi Pengadilan Agama untuk melaksanakan kewenangannya hingga kini belum ada. Apa yang ada barulah Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang dibuat pada masa Presiden Soeharto, yang dasar pemberlakuannya hanyalah Instruksi Presiden, bukan dalam bentuk undang-undang. Ini menjadi tugas Pemerintah dan DPR untuk membentuk hukum guna memenuhi kebutuhan hukum umat Islam, misalnya, di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.

Undang-undang yang secara khusus mengatur kebutuhan hukum umat Islam –seperti dikatakan di atas, tidak perlu disebut sebagai Undang-Undang Syariah, tetapi disebut sebagai Undang-Undang Nomor… Tahun… tentang Kewarisan Islam.

Adanya undang-undang seperti itu, tidak perlu membuat sebagian orang kaget, karena di zaman kolonial Belanda dulu juga ada Ordonansi Perkawinan Bagi Orang Kristen Indonesia atau Huwelijk Ordonantie voor Christenen Indonesier Stb 1936:247. Negara kita yang penduduknya majemuk, di samping memberlakukan satu jenis hukum yang sama bagi semua penduduk, dapat pula memberlakukan kemajemukan hukum kepada rakyat dan penduduknya yang beragam itu.

Dengan uraian di atas, hemat saya tidaklah perlu kita meributkan “Undang-undang Syariah” atau Perda Syariah,” yang banyak menimbulkan salah paham itu. Secara formal Undang-Undang dan Perda Syariah itu memang tidak ada. Namun secara substansial hal itu sangatlah wajar, dan wajib adanya, karena bersesuaian dengan kesadaran hukum masyarakat kita sendiri, khususnya bagi umat Islam di negara kita.

Dengan uraian di atas, kata-kata “NKRI Bersyariah” bagi saya sejatinya hanyalah slogan atau jargon politik kelompok tertentu. Yang paling penting justru adalah substansi syariah itu tertuang ke dalam kaidah-kaidah hukum positif di negara kita ini, yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. *

Praha, Czech Republic, 21 November 2018​

 

Yusril Ihza Mahendra adalah seorang pengacara, pakar hukum tata negara, politikus, dan intelektual Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara Indonesia. Pada 2015, ia terpilih sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) di Muktamar IV PBB. Yusril menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan juga menekuni ilmu filsafat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kemudian ia mengambil gelar Master di University of the Punjab, Pakistan (1985) dan gelar Doktor Ilmu Politik di Universitas Sains Malaysia (1993).

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER