Itu baru contoh kecil. Banyak lagi contoh lain yang menyangkut kehidupan masyarakat yang senantiasa dinamis. Karena sifatnya yang rahmah li al-‘alamin (menyayangi seluruh alam) dan shalih li kull zaman wa makan (baik untuk setiap masa dan tempat), maka sasaran inilah yang mestinya dikedepankan, bukan sarana.
Wujud universalitas Islam itu lebih pada aspek tujuan bukan alat mencapai tujuan. Lalu kita bertanya: bagaimana Islam memandang negara dan bentuknya?
Dalam banyak keterangan, Islam sesungguhnya tidak menentukan bentuk negara secara khusus, baik berdasarkan Alquran maupun Hadis. Islam hanya menetapkan visi dasar keadilan. Banyak ayat maupun Hadis yang menekankan pentingnya keadilan ini. Misalnya, Qs. al-Nisa’ [4]: 58 dan 135, Qs. al-Ma’idah [5]: 8), dll, juga Hadis riwayat Imam al-Bukhari tentang keadilan penetapan hukuman untuk Fatimah al-Makhzumiyyah yang terbukti mencuri bokor emas.
Tentang pemimpin yang adil (al-imam al-‘adil), juga banyak Hadis yang menjelaskannya (HR al-Bukhari, Muslim, dll). Dalam kitab-kitab fikih, tentang orientasi kepemimpinan untuk kemaslahatan umat (mashalih al-ra’iyyah) juga diuraikan dengan gamblang.
Hal-hal demikianlah yang sejatinya ditekankan oleh Islam. Dan untuk mewujudkannya, maka perlu dibentuk pemerintahan yang modelnya harus menyesuaikan dinamika masyarakat yang terus bergerak.
Misalnya, bisa saja bentuknya negara demokrasi. Dalam Islam, model demokrasi ini acapkali dikaitkan dengan sistem musyawarah (Qs. Ali ‘Imran [3]: 159, Qs. al-Shura [42]: 38, dll). Menurut J. Suyuthi Pulungan, dalam Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Alquran (1996), musyawarah bisa dimaknai sebagai forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan guna memecahkan masalah sebelum tiba pengambilan keputusan.
Musyawarah untuk mencapai kemufakatan ini sering dilakukan oleh Rasulullah Saw bersama para shahabatnya. Dalam Islam, bentuk musyawarah itu sendiri tidak tunggal. Bentuk musyawarah bisa berubah menyesuaikan zaman dan tempat.
Dalam konteks Indonesia saat ini, DPR/MPR adalah bentuk modern dari sistem musyawarah.
Diakui M. Quraish Shihab, dalam Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (2003), petunjuk Alqur’an tentang musyawarah, selain hanya terdapat pada tiga ayat saja, juga dinilainya tidak rinci. Ini mengesankan bahwa musyawarah tidak mendapat porsi perhatian dan elaborasi yang memadai dalam ajaran Islam. Namun, katanya, kesan itu akan sirna dengan mendalami lebih jauh lagi kandungan ayat-ayat tersebut.
Petunjuk Alqur’an yang lebih rinci banyak tertuju untuk persoalan-persoalan yang tidak terjangkau nalar serta tidak mengalami perubahan dan perkembangan. Itu sebabnya, uraian perihal metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini menyangkut persoalan yang tidak terjangkau nalar.