Oleh: Ferry Koto*
SERUJI.CO.ID – Mengerikan memang sosial media. Setiap orang tiba-tiba bisa menjadi pakar, dan kemudian seenaknya dengan “kepakarannya” yang instan tersebut, mencaci-maki pihak lain. Ini dilakukan bukan hanya oleh orang awam, tapi juga oleh orang yang sudah dianggap tokoh, para elite, yang semestinya punya banyak kesempatan untuk “membaca”, mencari tahu dahulu, sebelum menunjuk-nunjuk hidung orang lain.
Beberapa hari ini, hal yang mengerikan ini terlihat dari bagaimana di sosial media, warganet “menghakimi” para Hakim MK yang telah memutuskan menolak permohonan uji materi (Judicial Review -JR) yang diajukan Prof Euis Sunarti dkk, terkait pasal 284, 285, dan 292 KUHP yang mengatur soal perzinaan, pemerkosaan, dan perbuatan cabul sesama jenis (LGBT?).
Warganet bahkan para tokoh menuduh 5 orang Hakim MK yang menolak permohonan JR tersebut, mendukung perzinaan dan LGBT. Astaghfirullah, mengerikan sekali tuduhannya.
Sebuah tuduhan yang tidak beralasan, bahkan telah terjerumus ke fitnah yang sangat dilarang agama (Islam).
Mari diperhatikan, dan dipahami baik-baik, sebelum menuduh bahkan memfitnah Hakim-Hakim MK yang menjalankan tugasnya sesuai yang diberikan Konstitusi dan UU.
Pertama, pahamilah sesungguhnya Mahkamah Konstitusi tersebut adalah lembaga yang menguji suatu Undang-undang terhadap Konstitusi (UUD 1945), bukan lembaga yang membuat aturan hukum, membuat pasal-pasal hukum baru.
Kedua, pahami jugalah bahwa para pemohon adalah pihak-pihak yang sedang meminta dilakukan UJI MATERI atau judicial review, pasal-pasal yang ada di KUHP (284, 285 dan 292) yang mereka anggap bertentangan dengan Konstitusi. Bukan sedang meminta dibuatkan aturan baru, atau memohonkan MK menyetujui atau tidak menyetujui pasal di KUHP tentang perluasan makna perzinaan, pemerkosaan (yang di KUHP hanya sebut korban perempuan), dan pencabulan sejenis (yang di KUHP hanya disebuat anak atau orang yang belum dewasa).
Ketiga, pahamilah bahwa MK adalah badan yang disebut Negative Legislation, bukan lembaga Positive Legislation. Positive Legislation adalah lembaga yang memiliki kuasa untuk membuat norma atau yang kita kenal dengan perundang-undangan. Lembaga Positive Legislation ini di dalam tata negara kita adalah DPR dan juga pemerintah. Sementara, Negative Legislation adalah lembaga yang memiliki kewenangan menghapus atau membatalkannya suatu norma/perundangan.
Keempat, tidak ada satupun putusan MK (hasil pertimbangan 5 Hakim MK) yang menyatakan bahwa mereka mendukung LGBT ataupun mendukung tindakan amoral berupa kumpul kebo. Putusan tersebut sesuai dengan tugas yang diberikan Konstitusi ke MK adalah MENOLAK PERMOHONAN JR para pemohon, karena pasal-pasal yang diimohonkan TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI/UUD 1945, sebagaimana yang diargumentasikan pemohon.
Kelima, jika dibaca putusan secara lengkap, baik ke lima hakim MK maupun empat hakim MK yang lain, pada dasarnya tidak ada yang tidak sepakat dengan gagasan pemohon tentang perlunya PEMBAHARUAN terkait makna zina, pemerkosaan dan perbuatan cabul sesama jenis (LGBT). Juga, ditegaskan dalam putusan para Hakim MK tersebut bahwa putusan tersebut bukan berarti menyatakan norma yang ada di KUHP sudah LENGKAP. Implisit sangat jelas sekali para Hakim MK sependapat bahwa perlu ditambahkan norma-norma baru sesuai perkembangan masyarakat dan living law (hukum yang hidup di masyarakat).