Oleh: Gunawan Witjaksana*
SERUJI.CO.ID – Makin dekat dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tahun 2018 maka suasananya makin hangat. Bahkan, di sejumlah daerah yang petahananya tidak ikut berlaga, suasananya jauh lebih semarak.
Di sejumlah wilayah tersebut, baik individu maupun partai politik (parpol), jauh lebih berani mengumumkan jago-jagonya, bahkan tampak lebih mudah menyelesaikan dialog antarparpol untuk menetapkan bakal calonnya.
Sebaliknya, di wilayah yang kemungkinan petahana akan dicalonkan kembali (bisa juga tidak) serta wilayah-wilayah yang dianggap strategis, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, penentuan bakal calonnya oleh berbagai kalangan dianggap rumit dan berhati-hati.
Yang paling aktual, setidaknya PDIP yang rencananya mengumumkan bakal calonnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada tanggal 4 Januari 2018, seperti dilansir oleh berbagai media, ternyata ditunda lagi. Proses kompetisi, dialog, kompromi, atau mungkin beradu strategi seolah-olah saling mereka lakukan.
Pertanyaannya, benarkah bahwa penentuan bakal calon kepala daerah yang direkomendasikan tersebut demi kemajuan wilayah yang diincarnya, atau sebaliknya hanyalah saling beradu kemampuan drama sekaligus beradu siasat demi kepentingan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019?
Dramatisme dan Kompromi
Boleh saja setiap individu ataupun parpol serta gabungan parpol yang akan mengusungnya menggunakan komunikasi pengelabuhan (deception communication) dengan melakukan “action” ala Burke dan Goffman yang meyakinkan dan menyatakan bahwa mereka akan membuat wilayah tertentu lebih baik. Ada pula yang dengan mengacu pada analisis subjektif mengatasnamakan rakyat wilayah tertentu menginginkan kepala daerah baru dan sejenisnya.
Hal seperti itu tidaklah salah karena dari sisi komunikasi, merayu orang atau rakyat itu selain perlu memahami apa yang mereka inginkan, juga perlu meyakinkannya. Cara yang paling populer adalah melakukan komunikasi dramatisme.
Meyakinkan rakyat untuk mendapatkan simpati itu mutlak. Persoalannya, cara serta pesan komunikasi guna meyakinkan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan aktual (actual needs) rakyat yang dalam bahasa iklannya adalah mengetahui “consumers insight” mereka.
Ini tentu agak berbeda bila ada petahana yang dicalonkan kembali. Bagi petahana, kinerja yang dinilai baik dan memenuhi harapan rakyat sesuai dengan janji kampanyenya akan bergema lebih nyaring bila dibanding dengan wacana dari kandidat lawannya. Kelemahan petahana pun ada, yaitu bila rakyat di wilayahnya merasa kinerjanya kurang baik dan rakyat kecewa. Bila demikian, tidak mungkin parpol pendukungnya tidak akan mencalonkannya kembali.
Mengingat makin sempitnya waktu, tampak antarparpol makin intens saling berkomunikasi. Ada yang menyebutnya reunian, koalisi rakyat, dan sejenisnya setidaknya mereka saling berkomunikasi, atau mungkin juga saling menakar kekuatan yang akhirnya akan lahir kompromi.
Parpol yang di suatu wilayah sebenarnya bisa mencalonkan kandidatnya sendirian pun tampaknya tidak terlalu tergesa-gesa. Dalam bahasa komunikasinya adalah sedang beradu strategi atau “the game theory of communication”.