Setelah mengerahkan berbagai upaya untuk memenangkan pasangan calon (Paslon) masing-masing dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta, para tim sukses (Timses) nampaknya sudah bisa bernafas lega. Itu disebabkan karena hasil pilkada kemarin–setidaknya yang tegambar dalam hitung cepat (quick count) berberapa lembaga survei–telah memosisikan masing-masing kandidat pada urutan yang sesuai dengan perolehan suara.
Tim pemenangan Anies-Sandi, Kamis (16/2) merilis data quick real count terbaru yang mereka peroleh dari kalkulasi penghitungan suara berdasarkan form C-1. Hasilnya, Anies-Sandi tetap berada pada posisi runner-up dengan persentase 39,06 suara. Sedangkan posisi pertama, diduduki Ahok-Djarot dengan perolehan 42,43 persen suara. Sisanya, pasangan Agus-Silvi memperoleh 16,8 persen suara. Adapun suara tidak sah mencapai 1,3 persen.
Untuk penguasaan TPS, Anies-Sandi diunggulkan. Data tersebut mengungkap sebanyak 6.949 TPS dimenangkan oleh Anies-Sandi, 5.653 TPS dikuasai Ahok-Djarot, sedangkan Agus-Silvi hanya menguasai 245 TPS.
Direktur Polmark Indonesia Eep Saefullah Fatah yang kini merangkap sebagai Timses Anies-Sandi mengaku, meski penguasaan TPS paslon nomor 3 lebih banyak dari paslon nomor 2. TPS-TPS yang dimenangkan Ahok-Djarot rata-rata memiliki pemilih lebih banyak ketimbang Anies-Sandi, sehingga paslon yang diusung PDIP tersebut tetap diuntungkan. Alhasil, apapun bentuk pengumpulan data yang dilakukan oleh masing-masing timses, pada akhirnya hasil penghitungan riil di KPU-lah yang nantinya akan menjadi penentu.
Sedangkan penghitungan lainnya hanya sebagai data pendukung saja. Namun demikian, berhubung basis data yang dijadikan pegangan dalam rekapitulasi suara oleh Timses Anies-Sandi adalah Form C-1, maka besar kemungkinan, hasil akhir penghitungan KPU DKI Jakarta nantinya tidak akan jauh berbeda.
Jika kita melihat postur perolehan suara, hampir bisa dipastikan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi akan head to head pada putaran kedua pada bulan April mendatang. Lalu, siapa yang paling berpeluang? Ini adalah pertanyaan kita semua dan sampai hari ini kita tidak bisa memastikan jawabannya. Kita hanya bisa membaca tanda-tanda alam dan pergerakan data yang terjadi beberapa hari terakhir ini.
Menarik untuk dicermati data yang dipublikasi oleh lembaga survei Polltracking, tiga hari sebelum pemilihan. Lembaga yang dikelola oleh Hanta Yudha dan kawan-kawan itu merilis hasil survei yang berisi simulasi jika nantinya pilkada berlangsung dua putaran. Dalam survei tersebut disimulasikan jika Anies-Sandi berhadapan dengan Ahok-Djarot, maka hasilnya adalah 49,3 persen akan memilih Anies-Sandi dan 42,2 persen memilih Ahok-Djarot. Jika Anies-Sandi berhadapan dengan Agus-Silvi, maka sebanyak 45,4 persen akan memilih Anies-Sandi dan 28,5 persen akan memilih Agus-Silvi. Dan jika Ahok-Djarot berhadapan dengan Agus-Silvi, maka sebanyak 44,6 persen akan memilih Ahok-Djarot dan 42,7 persen akan memilih Agus-Silvi.
Hasil survei tersebut tentu bukan hasil akhir yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah pada putaran kedua nanti. Tetapi, ia hanya menjadi alat baca yang akan membantu para timses untuk mengetahui peta politik yang akan mereka jalani. Bisa saja, kandidat yang diunggulkan dalam survei akan terjungkal, dan bisa juga kandidat yang dimenangkan benar-benar menjadi pemenang. Ini adalah PR besar bagi kedua belah pihak.
Peluang dan tantangan yang dihadapi sama kelasnya. Pasangan Anies-Sandi sedikit diuntungkan jika kita membaca situasi politik terkini di tingkat elite. Antasari attack mau tidak mau akan berimplikasi secara psikologis bagi para pemilih tradisional Partai Demokrat yang menjadi pengusung utama Agus-Silvi. Mereka akan mengambil sikap sesuai dengan yang diambil oleh SBY selaku tokoh sentral dalam gerbong ini. Dan jangan lupa, betapapun itu, Demokrat adalah partai yang pernah menjadi pemenang pemilu pada tahun 2009 yang lalu. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa counter attack SBY kepada Antasari menjadi warning bagi pasangan Ahok-Djarot, karena SBY secara terang benderang telah menyebut ada kekuatan politik di balik serangan Antasari kepada dirinya. Dan dapat dibaca kemana sesungguhnya arah tudingannya.
Jangan dulu berbangga. Ahok-Djarot tidaklah bertarung tanpa kalkulasi. Harus dicatat, mereka adalah penguasa lapangan saat ini. PDIP sebagai pengusung pasangan tersebut adalah pemenang pemilu pada tahun 2014 yang lalu di DKI. Mereka juga adalah penguasa birokrasi yang mengendalikan sumberdaya pemerintahan yang bisa saja digunakan untuk meningkatkan elektabilitasnya. Mereka juga didukung oleh kapital dengan pasokan logistik tak berbatas.
Apapun bisa terjadi di sisa waktu yang ada. Ini politik bung! Politik bukan ilmu eksakta yang bisa ditebak hasilnya dari angka-angka statistik. Ia adalah game lapangan dengan ritme permainan yang sangat dinamis. Mereka yang menguasai lapangan dan tahu taktik bermain akan berpeluang menjadi pemenang. Sebaliknya, mereka yang miskin strategi akan bersiap gigit jari.
Beruntung, partai-partai politik pendukung kedua paslon yang lolos dalam putaran kedua pernah menjadi penguasa lapangan di DKI. Di pihak Anies-Sandi, ada PKS yang pernah menang pada Pemilu 2004 lalu. Sedangkan di kubu Ahok-Djarot, ada PDIP yang menjadi pemenang pada Pemilu 2014 silam. Dan menariknya, kedua kubu sama-sama memiliki basis pendukung yang militan. Kita tunggu saja kelanjutannya. Wassalam.
Penulis: Syamsul Bahri, mahasiswa FISIP UT Mataram semester akhir.
EDITOR:Rizky
Mari kita saksikan episode selanjutnya……
Justru PDIP sengaja memunculkan sosok AA untuk menyerang SBY, sehingga SBY bisa diancam dan dipaksa untuk menyerahkan suara AHY kepada BTP. Jika SBY tidak menyerahkan suara AHY maka siap siap kasus-kasus lama seperti Kasus AA, kasus Hambalang, kasus Century akan siap membawa SBY kepada jeruji.
Politik itu kejam bro.
Lawan akan diancam sedangkan kawan akan sayang.
Bukankah SBY sudah melaporkan AA ke polisi…??
Mantapbb juga analisanya. Jadi enteng jagokan siapa nih?