SERUJI.CO.ID – Apa jadinya Indonesia jika yang menang dalam pilpres 2019 adalah kotak kosong? Bagaimana kotak kosong dapat memilih para menterinya untuk memerintah Indonesia selama lima tahun ke depan, 2019-2024?
Celakanya, secara teoritik dan legal formal, UU no 7 tahun 2017 memungkinkan hal itu. Ada celah hukum dalam UU tentang Pemilu itu yang tetap membuka peluang tersebut: kotak kosong terpilih menjadi presiden Indonesia.
Mengapa para pembuat UU, lembaga presiden dan DPR luput memperhatikan celah hukum ini?
-000-
Cukup kita periksa pasal yang mengatur dua hal. Pertama, syarat sahnya pasangan presiden untuk ikut dalam pemilu presiden. Kedua, syarat kemenangan atau keterpilihan pasangan calon dalam pemilu presiden.
Setelah panjang lebar mengatur kriteria dan tahapan pengesahan calon presiden, UU no 7 tahun 2017 sampai pada pasal 235 ayat 6.
Saya kutip bunyi ayat itu secara lengkap.
(6) Dalam hal telah dilaksanakan perpanjangan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada pasal 4, masih terdapat 1 (satu) pasangan calon, tahapan pelaksanaan pemilu tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang undang ini.
Memang UU ini sudah mengatur pencegahan. KPU dilarang menerima pendaftaran pasangan calon presiden yang memborong semua partai yang ada. KPU juga sudah dilarang menerima pasangan calon presiden yang didukung begitu banyak partai, sehingga partai yang tersisa tak cukup prosentasenya untuk sah mengajukan calon pasangan presiden alternatif.
Memang UU ini sudah keras kepada partai politik. Jika ada partai politik memilih tidak mengajukan pasangan calon presiden siapapun, ia akan dikenakan sanksi tak bisa mengajukan pasangan calon presiden pada pemilu berikutnya.
Namun tetap terbuka celah itu, celah pemilu presiden berakhir hanya dengan calon tunggal dan melawan kotak kosong. Itu mudah terlaksana jika sebagian partai berkonspirasi memajukan calon pasangan yang salah satunya pasti ditolak KPU karena kelengkapan administrasi.
Ketika batas waktu pendaftaran, kelengkapan tak kunjung dikoreksi, bel berbunyi. Sah sudah calon pasangan presiden hanya satu. Partai politik yang gagal mencalonkan juga tidak terkena sanksi karena tak ada bukti mereka tidak berniat mencalonkan pasangan presiden. Mereka hanya terbukti gagal melengkapi syarat administrasi belaka, yang tiada sanksi hukum.
Dengan melawan kotak kosong, diasumsikan satu-satunya pasangan calon presiden menang mudah. Tapi bagaimana jika situasi berbalik? Bagaimana jika kemarahan publik pada satu-satunya pasangan calon presiden meluap? Lalu kotak kosong yang menang?
Pasal 416 UU no 7 tahun 2017, ayat 1, memungkinkan itu. Saya kutip bunyi lengkapnya.
(1) Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden, dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Ayat di atas implisit mengatur walau hanya ada satu pasang calon presiden, harus tetap diselenggarakan pemilihan karena syarat terpilihnya presiden, ia harus menang di atas 50 persen. Walau hanya ada satu pasang presiden, pasangan itu tak otomatis ditetapkan sebagai presiden terpilih.
Siapa lawan calon pasangan presiden tunggal? Karena proses pemilihan memerlukan lawan tanding, tak lain dan tak bukan, pasangan kotak kosongpun diresmikan menjadi calon presiden alternatif.
Bagaimana jika pasangan kotak kosong itu yang memenuhi syarat menang? Kotak kosong dipilih oleh the angry voters, pemilih yang marah, yang jumlahnya semakin banyak?
Secara teoritik dan legal formal hal di atas mungkin terjadi. Indonesia akan mengalami krisis konstitusi karena pasangan kotak kosong tak dapat menjadi presiden. Kotak kosong tak dapat menunjuk kabinetnya. Kotak kosong tak dapat pula melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri.
Segera pula indonesia masuk museum “Believe it or Not!”
-000-
Seharusnya pembuat UU tak boleh membuka celah itu. Seharusnya Lembaga Presiden dan DPR selaku pembuat UU melarang hanya ada calon tunggal dalam pemilu presiden 2019. Ini cacat elementer dan fatal.
Namun pemilu presiden 2019 sudah di depan mata. Agaknya tak lagi cukup waktu melakukan revisi.
Maka semua pemimpin, semua lapisan masyarakat, semua kaum cerdik pandai, dunia mass media harus bersatu jangan sampai hanya ada pasangan calon presiden tunggal di Pilpres 2019. Jangan biarkan kotak kosong menjadi calon presiden alternatif.
Itu akan menjadi skandal abad ini. Bagaimana mungkin sebuah negara demokrasi tak punya pasangan calon presiden alternatif?
Sebaliknya, Indonesia akan diuntungkan jika pemilu presidennya kompetitif. Pertahana Jokowi tinggal mencari pasangan calon wapres. Pasangan ini sudah rindu lawan tanding yang seimbang.
Inilah solusi. Prabowo, SBY, Amien Rais, dan tokoh oposisi lain bersatulah agar jangan kotak kosong yang menjadi lawan Jokowi. Bersatulah pilih satu nama!*
April 2018