MENU

Kilang Pertamina Untung atau Buntung Dapat Pasokan Listrik PLN ?

Oleh: Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) dan pengamat energi.

Bagaimana akibatnya bila listrik PLN dipakai di Kilang?

Kilang akan rawan “Shut Down” (stop operasi). Sekali kilang stop operasi dan untuk menormalkan kembali dengan tahapan “start up“, memerlukan waktu yang tidak sebentar, dibutuhkan 3 sampau 5 hari.

Artinya dalam priode start up tersebut sudah terjadi “Opportunity Loss Margin” kilang, karena untuk menormalkan kilang saja membutuhkan 4 hari kerja. Sementara per harinya kapasitas kilang tersebut mengolah 350.000 barrel minyak mentah, maka berapa potensi losses yg akan terjadi ???

Hal tersebut sangat rawan, kecuali kalau PLN sudah benar -benar mampu memproduksi listrik dengan kualitas super, yaitu stabil voltase maupun frekwensinya. Pertanyaan adalah
apakah PLN berani menjamin kehandalan dan kualitas listrik PLN, seperti yang telah diucapkan oleh direktur korporatnya.

Karena saat ini publik masih meragukan kualitas listrik PLN, “belum mampu” menghasilkan kualitas listrik seperti yang dihasilkan oleh pembangkit Kilang Pertamina yg memang di design khusus untuk hal tersebut.

Hal lain perlu diketahui, bahwa pembangkitan listrik Kilang Pertamina didahului dengan membangkitkan “steam“, dan kemudian “ steam” ini dipakai untuk pemanasan unit-unit operasi kilang. “Steam” setelah dipakai untuk proses di kilang akan turun tekanannya, kemudian “steam” tersebut baru dipakai untuk membangkitkan listrik memakai “Steam Turbin Generator“. Proses integrasi pembangkitan inilah yg dikenal dengan terminologi “Steam & Power Balance“.

Sehingga tidaklah mudah listrik diganti dari PLN seperti yang diwacanakan dalam kerjasama yang telah ditanda-tangani tersebut.

Kalau hal tersebut akan dilakukan bahwa listrik untuk kilang akan diganti total suplainya dari PLN , maka beberapa pertanyaan harus dijawab terlebih dahulu:

  1. Steam sisa dari pemakaian operasi kilang apakah langsung dibuang?
    Karena tidak dipakai lebih lanjut untuk membangkitkan listrik, artinya akan terjadi pemborosan berupa limbah panas yg dilepas ke atmosfir, tentu ini polusi “panas” yang sia-sia.
  2. Pemakaian bahan bakar (fuel oil atau gas oil) untuk pembangkitan steam tetap saja seperti semula, kecuali boiler dimatikan semuanya. Padahal boiler-boiler itu sangat dibutuhkan untuk memproduksi kebutuhan “steam” di kilang. Selain itu menurut informasi boiler di kilang angka MCR (maximum capacity rate) sekitar 60%, artinya kapasitas dan efisiensinya masih rendah.
  3. Ada tambahan biaya operasi kilang, karena harus membayar listrik yang di supply dari luar kilang Pertamina oleh PLN, tentu menambah BPP (Biaya Pokok produksi) kilang menjadi tidak efisien.
  4. Apakah Pertamina berani menjalankan pola operasi N+1 terhadap “steam generator ” (5 beroperasi, 1 stand by).
  5. Kalau terjadi stop operasi, untuk menormalkan kembali anggap saja diambil waktu tercepat 4 hari, sebagai contoh kilang Cilacap dengan kapasitas 350.000 Barrel pengolahan Crude/hari, maka ada potensi kehilangan operasi pengolahan crude sebesar 4×350.000=1.400 000 Barrel. Berapa potensi kerugian dialami Pertamina?
    Ini baru contoh untuk 1 kilang per 1 kejadian, bagaimana kalau terjadi terhadap 2 kilang atau lebih?

Asal tahu saja, setelah lebaran pada akhir bulan Juni 2018 telah terjadi musibah di kilang RU II Dumai yang mengalami “black out“. Akibat peristiwa itu butuh 4 hari menormalkan operasi kilang. Begitu juga yang terjadi pada kilang RCC Cilacap minggu lalu pada unit WGC (waste gas compressor) yang mengalami “trip” dan gas dibakar selama 2 jam, sehingga untuk kedua kejadian tersebut berapa besar “potensial loss” pada arus kas Pertamina.

Kecuali kalau potensi kerugian tersebut ditanggung PLN bila terjadi akibat kualitas listrik yang di supply tidak stabil (baik frekwensi maupun voltase). Akan tetapi apakah PLN sanggup menjamin dengan garansi ganti rugi tersebut?

Dengan kata lain, ide untuk mengganti pasokan listrik kilang Pertamina dari PLN perlu dilihat secara komprehensif dan sebaiknya tidak perlu buru buru membuat keputusan seperti anak kecil yang baru melihat potensi, tetapi sangat tidak memahami potensi resiko yang harus dikompensasikan.

Memang tidak mudah dan perlu kehati-hatian dengan melakukan analisa mitigasi resiko .

Oleh karena itu jangan sampai publik menilai bahwa narasi Pertamina akan mendapat penghematan sebesar Rp2,79 triliun apabila membeli listrik dari PLN hanya sebagai pencitraan saja, atau jangan jangan ada upaya menularkan virus PLN ke Pertamina.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER