MENU

Ibnu Tufail, Profesornya Para Filsuf

SURABAYA – Jika ada ilmuwan yang sering disebut-sebut sebagai guru bagi ilmuwan besar lain, maka salah satunya adalah Ibnu Tufail. Pemikiran dan gagasannya tidak hanya mewarnai dunia Islam, tapi Eropa dan dunia.

Abu Bakr Muhammad ibn ‘Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tufail dilahirkan pada dekade pertama abad 12 di Guadix, Granada, yang sekarang jadi bagian dari Spanyol. Dia keturunan suku Qais yang menyeberang dari Jazirah Arab ke Eropa.

Ia mengawali karirnya sebagai dokter praktik setelah belajar pada Ibn Bajjah (Avempace). Selain dokter, ia juga ahli filsafat, ahli matematika, dan pandai bersyair. Maka, seiring kemashurannya, ia menjadi sekretaris gubernur provinsi Ceuta dan Tangier. Akhirnya ia jadi dokter dan hakim di Istana Granada dan menjadi wazir (penasihat tinggi) Khalifah Abu Yaqub Yusuf.

Kebetulan, Sang Khalifah punya ketertarikan besar pada filsafat. Tak pelak, istananya menjadi galaksi bagi para pemikir filsafat dan metode ilmiah. Pengaruh ini membuat Spanyol kala itu menjadi pusat kebangkitan-kembali Eropa.

Di mana posisi Ibnu Tufail? Khalifah mempertemukan Ibnu Tufail dengan Ibn Rushd sehingga pemikiran keduanya sama-sama matang. Khalifah juga menugasi Ibnu Tufail untuk melanjutkan tugas almarhum Ibn Bajjah menafsirkan karya-karya Aristoteles.

Maka, selain kecemerlangan otaknya sendiri, pertemuan dengan filsuf besar dan menggarap karya filsuf besar masa lalu, Ibnu Tufail menjadi sosok yang banyak dikutip ilmuwan lain. Sayangnya, nyaris tidak ada karya asli Ibnu Tufail yang bisa ditemukan sekarang. Yang ada, kajian para imuwan besar muridnya.

Namanya disebut-sebut sebagai guru bagi astronom Nuruddin Al-Bitruji, astronom Abu Isḥaq Ibrahim al-Zarqali, dan sejumlah ilmuwan lainnya. Kajian para murid ini terbawa hingga ke dunia Barat. Nama Ibnu Tufail pun dikenal sebagai Abubacer.

Ibn Khatib menyebut dua risalahnya tentang kedokteran diilhami dari Ibnu Tufail. Al-Bitruji dan ibn Rushd menyebut Ibnu Tufail punya ‘ide-ide astronomis orisinil.’ Bahkan, Al-Bitruji dalam pengkajian teori epicycles dan lingkaran eccentric dalam Kitab al-Hai’ah memberikan penghormatan pada Ibn Tufail.

Namun, hanya satu karya aslinya yang kini masih tersimpan utuh, yakni…

<!–nextpage–>

Karya Ibnu Tufail yang sering disebut adalah Hayy ibn Yaqdhan. Lewat risalah semacam novel ini, tampak mental Ibn Tufail dipenuhi nilai-nilai agama Kekhalifahan di Granada. Risalah ini menguji sikap kaum penguasa terhadap rakyat dan terhadap filsuf.

Karya klasik ini diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Risalah Hayy ibn Yaqdhan dibuka dengan kelahiran tokoh bernama Hayy di pulau tanpa penghuni. Ia dibuang ke tempat itu oleh adik perempuan dari raja tertentu, untuk merahasiakan pernikahan dengan Yaqdhan. Hayy kecil dipelihara oleh kijang dan diajari alam atau penalaran. Meski sangat tidak masuk akal, pengajaran ini memberi ia kecerdasan induktif untuk mengungkap segala rahasia.

Tidak seperti hewan, Hayy sadar betul akan ketelanjangannya dan akan ketiadaan senjata fisik untuk mempertahankan diri. Ia merenungkan keadaan itu, lalu menutupi bagian bawah tubuhnya dengan daun, mempersenjatai diri dengan tongkat. Dari situ ia sadar akan kehebatan tangannya daripada kaki-kaki hewan.

Meninggalnya si ibu kijang membuat Hayy berfikir bahwa ruh hewan menggunakan raga sebagai instrumen –seperti tongkat yang digunakan tangannya– sehingga menghasilkan tubuh surgawi.

Ia kemudian menganalisis fenomena alam, membandingkan benda-benda di sekitarnya, lalu mengklasifikasi dan membeda-bedakan mereka menjadi mineral, tanaman, dan hewan. Pengamatan terhadap tubuhnya sendiri menunjukkan ada beberapa faktor yang sama dengan benda-benda itu, tapi masuk dalam kelas berbeda karena fungsinya. Ini membuatnya memikirkan bentuk atau ruh khusus untuk masing-masing objek.

Tapi, ruh itu tidak bisa diindera. Maka, pemikiran dialektikalnya membawa ia ke ide tentang sesuatu yang maha puncak, yang maha abadi, yang tidak bisa musnah, dan sesuatu yang maha dibutuhkan, yang menjadi sebab keberadaan semua raga. Ini membuat ia menyadari esensi non-material dalam dirinya. Ia akhirnya terserap ke dalam kontemplasi tanpa batas tentang Dzat Yang Maha-Puncak itu.

Pada tahap ini, muncul Asal –sosok ruh kontemplatif dan meditatif. Asal datang dari pulau berpenghuni di seberang untuk ‘mengganggu’ kesendirian Hayy. Asal memberitahu si anak alam itu konsepsi Qur’an tentang Tuhan, tentang malaikat, nabi-nabi, hari akhir dan lain-lain. Dengan pengetahuan ini, kecerdasan alaminya segera mengenali kebenaran.

<!–nextpage–>

Mempengaruhi filosofi Barat.

Hayy ibn Yaqdhan, satu-satunya karya ibn Tufail yang tersisa, hanya berupa romans pendek. Namun, pengaruhnya begitu besar pada generasi setelah ia. Di dunia Barat, risalah yang disebut ‘Philosophus Autodidactus’ itu diakui sebagai ‘salah satu kitab paling hebat dari Abad Pertengahan.’

Leon Gauthier, pakar sejarah filsafat, memberi penilaian unik. Berdasarkan spiritnya, kitab itu menyerupai Arabian Nights; Berdasarkan metodenya, itu sangat filosofis dan mistis. Ada kombinasi antara kegembiraan dengan kebenaran, dengan menyerukan imaginasi dan intuisi untuk membantu penalaran.

 

 

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER