Pancasila Tidak Dimengerti
Itu sebabnya maka Pancasila meskipun sudah berusia beberapa tahun, namun –jangankan di kalangan rakyat– beberapa kalangan intelektual sendiri menyatakan “tidak mengerti” Pancasila. Ini aneh kedengarannya. Tapi cobalah saya kutip di bawah ini apa yang dikatakan oleh Moh. Said dalam simposium yang dihadiri oleh seorang sebagai Prof. Dr. Imam Santoso pada tanggal 25 dan 27 April 1952 di Jakarta dengan acara: “Kesulitan-kesulitan dalam Masa Peralihan Sekarang Ditilik dari Sudut Ilmu Jiwa.”
Moh. Said antara lain berkata: “Tentang Saudara Widjaja, apakah Pancasila menjadi levenbeschouwing bangsa kita, saya rasa kita sendiri yang termasuk golongan yang berpikir, pada umumnya tidak mengerti apa Pancasila itu, apalagi rakyat. Oleh karena itu, Pancasila harus ditegaskan lebih dulu”.
Sedang Prof. Mr. Sutan Takdir Alisjahbana dalam suatu pertemuan Perhimpunan Pendidikan Indonesia di Bandung, 27 Desember 1950, telah mengatakan: “bahwa Pancasila hanyalah kumpulan faham-faham yang berbeda-beda untuk menenteramkan semua golongan pada rapat-rapat.”
Malah menurut buku penerbitan Kementerian Penerangan, dari mana dikutip beberapa pernyataan di atas (setelah menerangkan pendapat beberapa pihak yang menyetujui Pancasila) bahwa itu “berlainan dengan yang lain-lain yang mengatakan Pancasila itu kacau, kepalang tanggung, tidak jelas, dan sebagainya.”
Pancasila Gagal
Barangkali karena anggapan yang demikian itu terhadap Pancasila, maka dalam pertemuan simposium yang dimaksudkan di atas, oleh Widjaja sebagai pendebat Prof. Dr. Imam Santoso, dikatakan sebagai berikut: “Saudara Slamet menyarankan untuk mengisi kemerdekaan perlu adanya braintrust yang dapat memecahkan masalah-masalah dewasa ini. Untuk hal ini ada usaha dari dulu kala, yang dikerjakan oleh seseorang yang tidak sedikit pengaruhnya, tetapi tidak berhasil, yaitu usaha Presiden kita mengadakan Pancasila. Pancasila, meskipun tiap-tiap kali dikemukakan oleh Presiden, meskipun ada Kementerian Penerangan yang bertugas memberi penerangan dalam hal ini, tetapi tidak juga berhasil perwujudannya.”
Bahkan bukan saja tidak berhasil, D. Suradji dalam risalahnya tentang “Pancasila dan Marxisme” menuduh Pancasila itu sebagai kompromi dengan filsafat kapitalis-borjuis.
Coba pembaca ikuti sendiri kata-katanya berikut ini: “tapi kenyataannya sejak Pancasila dengan resmi diakui sebagai filsafat negara, yaitu sejak Proklamasi Kemerdekaan negara kita hingga sekarang, masih belum tampak bukti Pancasila dilaksanakan seperti diikrarkan. Apakah ini belum suatu tanda bahwa Pancasila adalah dasar-dasar yang kurang tepat? Kita tak berani mengatakan dengan pasti. Tapi kenyataannya, Pancasila adalah pedoman kepalang tanggung, berkompromi dengan filsafat kapitalis-borjuis.”
Itulah beberapa kalangan terpelajar terhadap Pancasila. Pendapat-pendapat demikian agaknya belum pernah dilahirkan oleh kalangan yang berideologi Islam.
Sebaliknya pemuka-pemuka ahli pikir Islam memberi pengertian-pengertian yang baik tentang Pancasila. Dan ini keluar dari keyakinan yang kuat. Sebab Pancasila bagi mereka –bagi tiap-tiap orang Islam– sebenarnya bukan prinsip-prinsip baru! Melainkan Pancasila itu adalah bersumber pada mata air ajaran-ajaran agamanya. Mata air yang sudah dimilikinya sebelum adanya Pancasila, dan yang jauh lebih kaya dan yang dengan tepat dikatakan oleh Saudara Moh. Natsir –dalam pidatonya pada peringatan Nuzulul Qur’an baru-baru ini– adalah induk serbasila!
Tiap-tiap orang Islam hanya akan berkata tentang Pancasila: “Itu belum cukup, Tuan! Itu belum sempurna! Itu hanya sebagian daripada apa yang sudah kami yakini dan kami miliki. Yang telah dimiliki oleh umat Muslimin semenjak 13 ratus tahun dahulu. Dan sebab itu, Pancasila harus kami isi dan sempurnakan dengan ajaran-ajaran agama Islam.