SERUJI.CO.ID – Neng Sarah Fathima, putri sulungku, melalui Whatsapp (WA), menulis ucapan terimakasih kepada Denny JA, founder LSI, sahabat ayahnya di Kelompok Studi Proklamasi (KSP) dan WA Ciputat School, Jakarta.
“Assalamu’alaikum Om Denny, tanggal 25 kemarin Neng sidang dinyatakan lulus. Terimakasih banyak untuk bantuannya selama ini ya Om” .
Denny pun menjawab: “Selamat ya Neng. Semoga terus tumbuh. Nanti kita cari waktu bersama ayah ibumu makan siang atau malam.”
Di WA-ku, setelah mengabarkan Neng lulus dengan IP 3,76 dengan masa kuliah 3,9 tahun, Denny pun meminta aku untuk mengundang teman-teman KSP merayakan kelulusan Neng.
Aku terharu mendapat perhatian Denny. Aku dan Neng tidak hanya pantas mengucapkan terimakasih kepada Denny yang telah membiayai kuliah Neng dan uang buku di Universitas Gunadarma hingga lulus –tapi juga bersujud kepada Tuhan yang mendatangkan “malaikat” penolong ketika berada dalam kebangkrutan yang parah.
Saat itu, aku benar-benar berada dalam kehancuran ekonomi karena kesalahan perhitungan suatu bisnis. Aku tertipu. Dua rumahku lenyap, mobilku terjual, dan rumah yang aku tempati sekarang, nyaris disita bank.
Aku dan istriku tiap malam berdoa. Ya Allah, berilah hamba pertolongan untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Sambil menangis kepada Allah, aku selalu minta pertolongan kepada-NYA.
Dalam kondisi serba tidak menentu, kemampuanku untuk menulis pun terganggu. Padahal, pengalaman menunjukkan, kalau aku tak menulis seminggu saja, otakku hampir meledak. Tubuhku demam. Pikiranku kacau. Ada sesuatu yang harus aku ledakkan. Jika tidak, aku stres. Makin lama tidak menulis, aku makin stress. Jika itu dibiarkan, aku akan depresi. Ujungnya, aku mencoba bunuh diri.
Menulis bagiku adalah release. Sebuah pembebasan beban pikiran. Benar, kata Achmad Munif, penulis novel Perempuan-Perempuan Yogya, writing is healing. Menulis itu menyembuhkan.
Tragis! Dalam kondisi ekonomi yang morat marit, kemampuan menulisku ikut morat-marit. Tapi jika aku berhenti menulis, jiwaku akan makin morat-marit lagi. Karena itu, satu-satunya cara untuk mengurangi beban psikisku, aku harus terus menulis. Tak boleh berhenti. Menulis apa saja.
Tak ada honor tak apa. Ada honor bersyukur; karena bisa mengungkit keterperukan ekonomiku. Dalam kondisi seperti itulah, Tuhan mendatangkan “malaikat” bernama Denny JA.
“Simon, ini cheque untuk melunasi hutangmu di Bank. Sisanya berikan untuk uang kuliah Neng,” ujar Denny setelah mendengar curhatku. Denny memang memintaku datang ke sebuah diskusi terbatas di resto miliknya Piza Café di Menteng untuk melepas Rindu kepada almarhum Djohan Effendi, Mensesneg Era Gus Dur –yang sedang berada di Jakarta.
Ketika melihat wajahku suntuk, Denny menanyakan, “kenapa wajahmu muram?” Lalu, kuceritakan masalahku kepadanya. Ia pun tanpa pikir panjang memberikan cheque tersebut. Nilainya sangat besar untuk ukuranku.
Byaarrr, kegelapan itu terasa sirna. Rumahku tak jadi disita bank. Aku pun mengumpulkan tenaga untuk menulis kembali. Pengungkit hidup dari Denny telah membebaskan aku dari keterpurukan yang parah.
Aku telpon kembali satu persatu klien ghost writerku, untuk memperbaiki perjanjian. Aku minta mereka menaikkan honor “ghost writing”ku karena semua kebutuhan pokok makin mahal. Aku pun rajin menulis lagi. Dan uang dari honor ghost writing tersebut kembali mengalir. Depresiku makin berkurang. Dan akhirnya sembuh.
Tak lama kemudian, setelah memberikan cheque untuk menebus rumah, Denny mengundang aku, istriku, dan Neng makan di Futsal School, Ciputat, malam Minggu. Di tengah makan yang lauknya sunguuh eueenaak, Denny berkata: “Simon, biaya kuliah Neng saya tanggung hingga lulus. Tiap bulan aku tambah satu juta rupiah untuk uang jajan dan buku. Neng, usahakan IP-mu rata-rata minimal 3,5.”
Sejak saat itu, satu beban tanggungan sekolah anakku hilang. Untuk yang belum kuliah –Joan di SMP dan Santana di SD aku masih mampu menanggungnya. Sedang Bella saat itu baru usia dua tahun.
Sedikit demi sedikit, aku kembali bangkit dari keterpurukan. Lagi-lagi Denny memberikan ‘proyek’ untuk aku kerjakan. Honornya, aku belikan mobil yang “hilang” akibat kesalahan bisnis tadi. Maklumlah, hidup di kota padat dan panas seperti Kota Bekasi, mobil adalah keperluan primer.
Bagiku, Denny JA adalah “tangan’ Tuhan yang diberikan untuk menolongku. Dan tampaknya “tangan Tuhan” itu tak hanya menjamah aku. Tapi juga teman-teman lain dan orang-orang susah yang dikenal Denny dengan baik.
Aku masih ingat ketika istri Mas Djohan Effendi meninggal dua tahun lalu. Denny segera memberikan “sepetak kuburan mewah” di Taman Makam San Diego Hill di Kerawang yang harganya tidak murah. Ratusan pelayat usai mengantarkan mayat Bu Djohan di San Diego Hill, diminta Denny untuk makan dan istirahat di restoran mewah dengan layanan self service.
Mengetahui bahwa semua proses penguburan Bu Djohan Effendi sampai selesai ditanggung Denny, KH Ahmad Syafi’i Mufid, staf Mas Djohan Effendi di Litbang Depag, menyatakan kepadaku: “Betapa mulianya hati Denny. Saya ingin meniru Denny, meski dengan cara lain,” ujarnya dengan terbata-bata.
KH Ahmad Syafii Mufid kini tengah membangun pesantren entrepreneur gratis di sebuah perbukitan Cikampek. Tampaknya kedermawanan Denny sedikit banyak ikut menginspirasi kyai asal Pati yang pernah kuliah di Leiden Belanda itu untuk spartan membangun pesantren gratis itu.
“Simon semua biaya pembangunan pesantren ini berasal dari uang pribadi. Aku rela tinggal di rumah gubug, asalkan pondok pesantrenku berjalan lancar,” ujar KH Ahmad Syafii Mufid.
Kyai Syafii Mufid mengatakan akan menjual rumahnya di Kota Bekasi yang kini ditempati untuk membiayai pondok pesantrennya di Cikampek itu. Sebelumnya, sejumlah ruko dan apartemen miliknya telah dijual untuk menutup biaya pembangunan pesantren gratis tersebut.
“Memberi itu membahagiakan, Simon. Hidup rasanya indah dan bahagia jika kita membuat orang lain senang dan tertolong dari penderitaannya,” ujar tokoh “Kerukunan Beragama” yang tak pernah lelah berdakwah ini. Dan Denny pun, niscaya bahagia hidupnya karena ia banyak menolong orang –tambahnya.
Temans! Aku menuliskan ini tidak hendak memuja, apalagi mengultuskan Denny. Aku tuliskan ini sebagai cermin untuk kita. Harapanku agar sikap kedermawanan itu tersebar dan menjadi etika publik di tengah masyarakat kita.
Sekadar catatan kecil. Bila wanita tua buta Yahudi yang sehari-hari mencaci Muhammad di sudut Kota Madinah merasakan betapa lembutnya tangan Rasul menyuapkan nasi ke mulutnya tiap hari sampai Putra Abdullah itu wafat — kita pun perlu mengaca diri: Siapa kita? Apa yang telah kita lakukan untuk manusia yang papa dan menderita?
(ARif R)