Di dalam negeri, Fatwa juga pernah mendapat penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Fatwa diterima dengan baik oleh warga Batak dan mendapat gelar “Ginting” di Brastagi, kemudian marga “Harahap” di Padang Sidempuan, Sumatra Utara.
Selain itu mendapat Piagam Adat dari Sai Batim Raja Adat Kesatuan Paksi Pak Skala Brak dengan gelar “Tumenggung Alip” di Lampung, Lencana Kehormatan Radyolaksono dari Sri Sunan Pakubuwono XII dari Solo dan pemberian nama “Hadinagoro” dan gelar Kanjeng Pangeran pada tahun 2003.
Fatwa merupakan saksi sejarah babak hitam rezim Orde Baru. Rezim yang pernah menjebloskan dia ke penjara.
Hanya karena berbeda pendapat dengan pemerintah dan disangka konseptor Lembaran Putih Petisi 50 untuk kasus Tanjung Priok 1984 ia dituduh melakukan tindakan subversif.
Fatwa saat itu Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50, komunitas para tokoh yang berseberangan dengan Soeharto. Ketua Pokja Petisi 50 Ali Sadikin yang pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta adalah orang dekat dan mantan atasan Fatwa ketika bekerja di Pemda DKI Jakarta.
Majelis Hakim kala itu memvonis tokoh kelahiran Bone, Sulawesi Selatan 12 Februari 1939 dengan hukuman 18 tahun penjara. Selama sembilan tahun pertama sempat mendekam di beberapa penjara-rumah tahanan militer Cimanggis, Guntur, dan Markas Batalion 202 Bekasi, sebelum kemudian mendekam di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, LP Cirebon, LP Sukamiskin, LP Paledang, dan kembali ke Cipinang.
Penjara telah memasung kebebasannya. Berbagai perlakuan menyakitkan diterimanya mulai siksaan fisik sampai penghinaan martabat. Dia pernah dijebloskan ke dalam sel yang amat sempit dan berbau kotoran manusia. Ia hanya bisa berdiri dan terpaksa menunaikan shalat seadanya dengan bertayamum menempelkan tangan ke dinding.
Selama dipenjara, dia masih bisa menulis surat yang dikirimkan kepada Presiden Soeharto, berbagai pejabat pemerintahan dan lainnya, yang kemudian dibukukan dengan judul “Menggugat Dari Balik Penjara”.
Fatwa dibebaskan pada 1993, lebih cepat daripada masa hukuman penjaranya. Dia sempat kembali ke pemerintahan saat menjadi Staf Khusus Menteri Agama Tarmizi Taher tahun 1996-1998. Ia terjun ke politik setelah era reformasi 1998 pada pemerintahan Presiden BJ Habibie, dengan bergabung ke Partai Amanat Nasional.
Perjalanan hidup Fatwa memang sangat menarik. Dia pernah menjadi imam bagi para tentara saat bekerja sebagai Wakil Kepala Dinas Rohani Islam KKO-AL (Marinir) Komando Wilayah Timur di Surabaya pada 1967-1970, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Masyarakat Direktorat Politik Pemda DKI Jakarta/Staf Khusus untuk masalah-masalah agama dan politik pada 1970-1979, tetapi dia pula yang dizalimi oleh rezim sehingga masuk penjara.
