Selanjutnya pada 8 Februari 2018, eks HTI menghadirkan saksi ahli bernama Daud Rasyid.
Seolah menjawab video yang disampaikan Pemerintah, Daud Rasyid menyatakan khilafah artinya menggantikan peran nabi dalam menjaga agama dan urusan di dunia. Menurut Daud, konsep khilafah justru ditujukan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daud juga menyatakan HTI hanya berupaya menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam setiap dakwahnya, dan khilafah adalah termasuk ajaran Islam.
Menurut kuasa hukum Menteri Hukum dan HAM, Hafzan Taher, khilafah jelas bertentangan dengan Pancasila.
Pada 1 Maret giliran Menkumham menghadirkan saksi ahli mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai.
Mbai menegaskan keputusan pemerintah mencabut status badan hukum HTI tepat karena HTI mengancam negara.
Mbai menilai organisasi HTI memang berjalan normatif, berdakwah, nonkekekerasan, tapi di bawah permukaan membentuk paramiliter. Menurut dia pembentukan paramiliter ini bisa diketahui pimpinan formal organisasi HTI, bisa juga tidak.
Mbai mengungkapkan berdasarkan data-data pelaku aksi teror di Indonesia yang telah tertangkap dan disidangkan hingga saat ini, banyak di antaranya merupakan orang yang pernah berkecimpung di HTI.
Atas pernyataan Mbai yang terakhir ini, jubir eks HTI Ismail Yusanto menekankan bahwa dengan adanya oknum eks anggota HTI yang melakukan teror dengan kelompok lain, maka tidak sertamerta menjadikan HTI dapat dituding sebagai organisasi radikal.
Selanjutnya pada 15 Maret pemerintah menghadirkan saksi ahli agama dari kalangan Nahdlatul Ulama KH Ahmad Ishomuddin yang menyatakan bahwa organisasi Hizbut Tahrir internasional menentang paham-paham demokrasi, karena peraturan perundang-undangan dalam paham demokrasi dibuat atau dirumuskan oleh manusia.
Hizbut Tahrir internasional menyatakan tidak boleh ada paham selain bersumber dari akidah Islamiyah. Dan HTI merupakan bagian dari Hizbut Tahrir internasional itu.