JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Gerakan kesetaraan perempuan di Indonesia selama ini lebih dikenal masyarakat luas dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional dari Pulau Jawa.
Bukan hanya di Pulau Jawa, gaung kesetaraan gender juga menggema di Nusa Tenggara Barat (NTB) lewat pendidikan yang diprakarsai oleh T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau lebih dikenal dengan Maulana Syaikh.
Pendiri Nahdlatul Wathan (NW) di Pulau Lombok itu mendirikan sekolah atau madrasah pertama bagi kaum perempuan pada tahun 1943 yang bernama Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI). Hal itu menjadi satu langkah penting dalam rangka memberikan pendidikan bagi semua, termasuk perempuan.
NBDI merupakan semangat pendidikan emansipatoris agar kaum perempuan, sebagaimana laki-laki, juga bangkit untuk memajukan umat Islam, bangsa, negara, dan tanah air.
Pria kelahiran Kampung Bermi Pancor Lombok Timur, 19 April 1908, itu sangat berkeyakinan bahwa membangun lembaga pendidikan merupakan langkah strategis membangkitkan kehidupan.
Perhatian besarnya terhadap pendidikan tidak lepas dari semangat yang diperoleh dari pendiri Madrasah Al-Shoulatiyah di Mekah. Lewat semangat itulah dia terinspirasi mendirikan sebuah pesantren bernama Al-Mujahidin sepulangnya Maulana Syaikh dari Tanah Suci pada tahun 1934.
Dua tahun kemudian dia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dengan sistem klasikal. Penggunaan nama pesantren dan madrasah yang dia dirikan sangat kuat mengisyaratkan semangat kejuangan (jihad) untuk memajukan umat Islam dan membangkitkan bangsa dan tanah air (Nahdlatul Wathan).
Bagi Maulana Syaikh, lembaga pendidikan bukan sekadar tempat belajar mengajar, melainkan juga tempat untuk menyiapkan pemimpin, membangun karakter, patirotisme, dan nasionalisme.
Selain menaruh perhatian terhadap pendidikan, Maulana Syaikh juga turun langsung memimpin pertempuran melawan penjajah. Bahkan, pesantren dan madrasah yang didirikannya menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme.
Pada tahun 1947, dia membentuk laskar mujahidin yang terdiri atas masyarakat dan para santri, guru-guru pesantren dan madrasah yang dia pimpin. Di bawah kepemimpinan adik kandungnya, laskar tersebut menyerang tangsi NICA pada tahun 1947.