SURABAYA, SERUJI.CO.ID – Kekhakwatiran sejumlah pihak terhadap terbelahnya kiai-kiai NU di Jatim sebagai dampak munculnya dua kader NU yang maju Cagub Jatim pada Pilgub Jatim 2018, nampaknya mulai terjadi. Bahkan panutan ajakan mendukung salah satu cagub langsung dibalas dengan seruan fardhu ain mendukung cagub yang lain.
Tak ayal, publik di Jatim kini disuguhi tontonan perilaku kiai-kiai yang terlalu terlibat aktif dalam proses Pilgub Jatim dan tak sepatutnya dijadikan sebagai tuntunan yang berasal dari penjaga moral masyarakat, sebuah sebutan yang selama ini melekat pada seorang kiai.
Menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo, fenomena anomali politik dan demokrasi yang melibatkan tokoh agama (kiai) kerap terjadi sejak era reformasi bergulir bukan hanya terjadi di Jatim tetapi hampir merata di seluruh Indonesia.
“Ini akibat dari praktik penyelenggaraan Pilkada khususnya soal rekomendasi calon dari partai politik hanya memberikan cek kosong kepada rakyat. Ketika parpol gagal melakukan pendidikan politik menyiapkan kaderisasi justru mereka meminjam tangan ormas atau pihak lain dan menjadikan mereka sebagai robot politik,” ujar Suko Widodo, Kamis (9/11).
Ia juga miris, sosok kiai yang harusnya menjadi penjaga moralitas dan kultural justru diseret untuk terlibat langsung politik praktis seperti Pilkada. Padahal, posisi kiai sebenarnya lebih tinggi daripada KPU, Bawaslu maupun parpol.
“Pelibatan kiai dalam politik praktis itu mendegradasi marwah kiai sebagai pusat moralitas,” tegas Suko.
Pilkada, kata Suko, sejatinya merupakan adu gagasan (ide) untuk mensejahterahkan masyarakat bukan adu kekuatan.
“Kalau antar-kiai pendukung salah satu cagub adu kekuatan dialektika. Itu sama halnya pepatah gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Artinya, rakyat (santri) bisa jadi korban kalau kiai saling bertempur,” sindirnya.
Parpol juga harus ikut bertanggung jawab, sebab urusan Pilkada sebenarnya menjadi ranah parpol. Kalau sampai urusan Pilkada diambil alih oleh kiai atau pihak-pihak lain, maka itu akan semakin menguatkan image buruk terhadap parpol dan politik.
“Parpol harus bisa meluruskan kembali marwah politik untuk kesejahteraan masyarakat,” pintanya.
Di sisi lain, Suko juga berharap PBNU sebagai lembaga tertinggi wadah dari para kiai-kiai NU untuk bersikap netral dan menjaga proses demokrasi berjalan dengan baik walaupun melibatkan kader-kader NU.
“Kalau PBNU tidak bisa netral, maka ini ancaman terhadap khittoh NU. Melalui khittoh, NU itu sudah berada di jalan yang sunyi dan penuh ketenangan, tapi karena terlibat kepentingan subyektif sehingga jalannya menjadi hiruk-pikuk,” kalakar pria murah senyum ini.
Senada pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura, Mochtar W Oetomo menambahkan bahwa PBNU harus ada kebijaksanaan struktural dengan melakukan konsolidasi kembali ke khitoh NU agar tak terlibat proses teknis politis.
Kalau tidak, maka NU akan merugi sendiri karena akan mulai ditinggalkan oleh umatnya.
“Kebijaksanaan kultural NU dengan melakukan rembukan atau sowan meminta pendapat atau petunjuk ulama yang lebih dituakan juga mulai ditinggalkan kiai-kiai NU. Mungkin ini akibat sudah tidak adanya punjer kiai di Jatim, seperti di Jateng yang masih ada Mbah Mun, atau Gus Mus,” ungkap Mochtar.
Ditegaskan Mochtar, kiai harusnya tetap menjadi simbol kultural, penjaga moral dan penyeimbang dalam masyarakat. Bukan sebaliknya, secara vulgar terlibat proses teknis politik karena itu justru akan menggerus kewibawaan kiai, bahkan bisa menimbulkan konflik sesama penjaga moralitas umat.
“Publik akan kehilangan sandaran norma atau kultural. Lalu mereka mau bersandar kepada siapa? Kalau dibiarkan juga bisa merusak ekosistem sosial politik di Jatim,” katanya. (Amal/SU02)
Kyai seharusnya berpolitik secara syar’i. Ketika menjatuhkan dukungan harus disertai hujjah yg tepat. Masya iya kyai mau mendukung calon yg dicalonkan oleh partai yang tokoh2nya sering melecehkan agama dan korupsinya juga juara. Bagaimana masyarakat menilai kyai yg seperti itu? pasti hancur kredibilitasnya
Aku iyes sama statemen berikut……
Ini akibat dari praktik penyelenggaraan Pilkada khususnya soal rekomendasi calon dari partai politik hanya memberikan cek kosong kepada rakyat. Ketika parpol gagal melakukan pendidikan politik menyiapkan kaderisasi justru mereka meminjam tangan ormas atau pihak lain dan menjadikan mereka sebagai robot politik,” ujar Suko Widodo, Kamis (9/11).
Seharusnya memang kyai itu berpolitik, agar bisa mengajarkan politik yg baik dan memberikan arahan yg benar sesuai aturan islam. Karena ialam memang menyuruh pemeluknya berpolitik juga (kalau tdk tentu islam bukan ajaran yg kaaffah).
Hanya masalahnya di tataran praktis banyak yg blm sesuai. Harusnya fardhu ain hanya untuk sesuatu “yg tdk ada pilihan lain, kecuali itu. Yg lain menimbulkan mudhorot”. Nah itu baru bener.
Tp dibalik itu semua saya yakin akan terjadi proses pembelajaran oleh para kyai tsb. Hingga berikutnya InsyaAlloh lbh sesuai ajaran islam. Aamiin ya arhamarraahimiin.