JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris menilai grasi yang diberikan Presiden Jokowi kepada Neil Bantleman, Warga Negara Kanada, terpidana kasus pelecehan seksual anak yang divonis 11 tahun oleh Mahkamah Agung (MA) pada 2016 lalu, dinilai kontraproduktif terhadap upaya perlindungan anak.
Menurut Fahira, pemberian grasi ini menghambarkan ketegasan negara yang menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa setara dengan kejahatan narkoba, terorisme, dan korupsi.
Fahira Idris yang membidangi persoalan Politik, Hukum, dan HAM mempertanyakan alasan objektif dan rasional hingga grasi ini diterbitkan oleh Presiden Jokowi. Bagi Fahira, Presiden harus menjelaskan kepada publik secara komprehensif kenapa terpidana kasus pelecehan seksual anak berhak mendapat grasi dan sekarang bebas.
“Memang ini hak Presiden. Tapi publik berhak tahu pertimbangannya pemberian grasi ini apa. Bagi saya pemberian grasi ini kontraproduktif terhadap upaya bangsa ini memerangi kekerasan seksual terhadap anak yang kini sudah masuk kategori sebagai kejahatan luar biasa,” tukas Fahira dalam keterangan tertulis yang diterima SERUJI, Senin (15/7).
Pemberian grasi ini, lanjut Fahira, akan menjadi preseden tidak baik karena dikhawatirkan langkah ini (pengajuan grasi) bakal diikuti oleh terpidana-terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak lainnya di Indonesia.
“Bagaimana jika ada terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang lainnya berbondong-bondong mengajukan grasi? Saya khawatir muncul persepsi, jika yang 11 tahun saja dapat grasi kenapa yang lain tidak. Ini kan preseden tidak baik,” ujar Senator Jakarta yang juga aktivis perlindungan anak ini.
Menurut Fahira, sesuai konstitusi walau pemberian grasi merupakan kewenangan Presiden, tetapi dalam prosesnya harus memperhatikan pertimbangan MA atau DPR. Oleh karena itu publik berhak tahu pertimbangan seperti apa dan kondisi apa yang melandasi seorang terpidana kasus pelecehan seksual terhadap anak yang divonis 11 tahun berhak mendapat grasi dan bebas.
“Karena jika pertimbangannya tidak kuat maka sama saja negara menganggap kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan biasa, dan ini mengingkari komitmen kita melawan segala bentuk kekerasan terhadap anak” pungkas Fahira.