SERUJI.CO.ID – Although living alone can offer convenience…, physical health is not among them. (Julianne Holt-Lundstad, Profesor of Phsychology and Neuroscience at Brigham Young University)
“Ibu saya sudah meninggal satu bulan yang lalu dokter,” ungkap seorang pasien ketika saya tanya Ibunya kok tidak ikut.
Lho, “kok bisa?” tanya saya tidak percaya.
“Ya, dokter, kami anak-anaknya juga heran, tidak tahu sebabnya. Dua bulan setelah Bapak meninggal, Ibu juga menyusul, padahal sebelumnya sehat-sehat saja, dan tidak ada mengeluh apa-apa. Hanya saja, setelah Bapak meninggal, Ibu sering melamun, menyendiri, dan sulit tidur, dan nafsu makannya juga menurun sekali,” cerita pasien.
Pasien, Ny SM, 35 tahun, saya kenal dengan baik karena bersama Ibunya hampir setiap bulan mengantar Ayahnya kontrol karena menderita penyakit ginjal kronis yang harus mendapatkan terapi pengganti hemodialisis.
Sang Ayah, 65 tahun, meninggal empat bulan yang lalu karena stroke. Sebelum menjalani hemodialisis sekitar dua setengah tahun, beliau ada riwayat diabetes melitus sejak umur 40 tahun, kemudian hipertensi beberapa tahun kemudian.
Yang menarik perhatian saya adalah sang istri, usia sekitar 55 tahun. Ia adalah istri yang sangat setia, santun, penyayang dan penuh perhatian terhadap sang suami, yang mengalami sakit dengan bermacam komplikasi dan terakhir harus menjalani hemodialisis, selalu mendampingi suami ketika konsultasi dan pada saat menjalani hemodialisis dua kali dalam seminggu.
Walaupun ada istri atau anak-anak pasien hemodialisis lain yang mendampingi suami, istri atau orang tuanya waktu menjalani hemodialisis yang berlangsung lima jam.