YOGYAKARTA, SERUJI.CO.ID – Pada 1 Oktober 2017 lalu, telah terjadi pembunuhan massal di Las Vegas dengan korban 58 meninggal dan sekitar 500 orang cedera. Namun anehnya, Pemerintah Amerika dan banyak media tidak menyebut peristiwa tersebut sebagai aksi teror.
Pengamat Terorisme sekaligus Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan serangan brutal di Las Vegas membuat banyak pihak prihatin, tapi di sisi lain juga ada realitas yang juga memprihatinkan.
“Ini soal obyektifitas pemberitaan oleh beragam media mainstream. Kenapa media banyak yang “kelu” (terdiam -red) untuk melabeli serangan brutal di Las Vegas sebagai aksi teroris?” ujar Harits lewat pesan kepada SERUJI, Kamis (5/10).
Menurut Harits, serangan Las Vegas menjadi salah satu contoh tolak ukur level obyektifitas media dan banyak pihak terkait isu terorisme.
Dia menerangkan, biasanya pada kasus ecek-ecek “teror” begitu murah di obral kata “teroris”, namun pada serangan brutal di Las Vegas sangat pelit menyebutnya aksi teror.
“Publik makin sadar bahwa diksi “teroris” atau isu terorisme adalah etalase perang opini dan propaganda, yang terselebung di dalamnya ada kepentingan politik global yang komplek yang tendensius. Dan ada konvergensinya dengan kepentingan politik rezim lokal yang ikut memainkan isu war on terrorism,” ujar Harits.
Hal ini perlu disadari, lanjut Hatits, faktor beragam kepentingan dibalik isu terorisme membuat banyak pihak sulit bersikap obyektif, jujur, adil dan proporsional dalam pemberitaan.
Sebagaimana diketahui, pelaku teror Las Vegas adalah Stephen Paddock (64). Ia menembak dirinya sendiri sebelum polisi menyerbu hotelnya. Ia tidak punya catatan kriminal dan tidak dikenal aparat.
Polisi menemukan 23 senjata api di kamar hotelnya. Polisi juga mendapati sejumlah senjata api dan bahan peledak di rumahnya. Secara keseluruhan, terdapat 47 senjata api milik Paddock yang disita. (ArifKF/Hrn)