15. Secara rangkuman, arus kas dari operasional tahun 2018 adalah Rp 35 trilyun. Arus kas digunakan untuk operasi adalah Rp 100 triliun. Kondisinya minus, sehingga tahun 2018 dibutuhkan dana dari pendanaan (tambahan utang) sebesar Rp 56 trilyun. Pergerakan kas ini mengakibatkan posisi kas akhir 2018 turun Rp 9 trilyun dibanding tahun sebelumnya.
16. Jika mengikuti pola selama ini, satu-satunya pintu tambahan dana untuk pengadaan fasilitas transmisi back up sebesar Rp 125 triliun sebagaimana di atas adalah dari menambah utang.
17. Secara rasio utang terhadap ekuitas (DER), PLN masih berada pada angka 0,6. Dengan tambahan utang Rp 125 trilyun untuk membangun fasilitas transmisi back up di atas, utang akan menjadi Rp 690 dan DER akan menjadi 0,74. Secara rasio ini masih aman.
18. Namun demikian masalahnya ada pada arus kas. Jika penambahan utang dilakukan, kondisi arus kas PLN akan semakin mepet. Direksi akan makin sibuk berpikir urusan arus kas keseharian. Terkuras hanya untuk urusan yang sebenarnya sepele. Dan akan ada risiko besar wanprestasi dalam membayar kewajiban sampai pada risiko pemailitan oleh kreditur. Tentu ini sangat berbahaya
19. Alternatifnya adalah dengan menambah modal disetor Rp 125 trilyun. Sebagai badan hukum PT yang menyetor bisa pemegang saham existing yaitu pemerintah. Bisa juga pemegang saham baru. Mampukah pemerintah? Tentu saja ini akan menambah devisit APBN yang selama ini memang diprogram menganga dan ujung-ujungnya pemerintah juga akan menambah utang. Terlalu berisiko juga jika dilakukan dengan mencetak uang.
20. Bagaimana jika yang menyetor selain pemerintah? Peluangnya besar. Dengan laba Rp 12 triliun (pembulatan) dan menjajikan investor ROI sebesar 2,5% per tahun misalnya, PLN cukup menerbitkan 26 % saham untuk mendapatkan Rp 125 trilyun.
21. Angka ROI 2,5% per tahun ini saya kira cukup menarik karena dengan ROI tersebut seluruh saham PLN (nilai PLN sebagai perusahaan) hanya Rp 480 triliun. Hanya 51% dari nilai buku ekuitas yang Rp 927 triliun. Dengan demikian, pembeli justru mendapatkan disagio alias diskon. Bukan membayar agio sebagaima layaknya proses korporatisasi. Artinya, angka penerbitan saham baru berpotensi jauh lebih kecil dari 26% tersebut
22. Namun demikian, penerbitan saham baru seperti itu (melalui proses IPO di lantai bursa) membutuhkan keputusan politik di dewan. Tentu ini tidak mudah. Tetapi secara logika ini jauh lebih baik dari pada membiarkan risiko black out tidak dimitigasi yang cukup. Atau dimitigasi tetapi dengan dana utangan baik oleh PLN maupun oleh pemerintah yang juga menimbulkan risiko baru berupa kepailitan bagi PLN. Masyarakat akan mudah menerimanya kecuali yang memang mindset-nya adalah raja utang atau cuek dengan risiko black out.
Bagaimana? Sudah jelas kan jawaban terhadap pertanyaan di judul tulisan ini? PLN mampu dengan catatan seperti di bagian akhir poin-poin di atas. PLN Bisa mencapai zero black out.
Tentu kita tidak bisa membebankan eksekusinya ini kepada CEO atau direksi mengingat fenomena pseudo CEO yang jamak terjadi di BUMN. Bagaimana pendapat Anda?