SERUJI.CO.ID – Tulisan Denny JA, yang beredar di media sosial, secara tak langsung telah mengangkat kembali wacana tentang hubungan agama dan negara. Tulisan Denny JA yang berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?” itu berkaitan dengan gagasan penerapan Syariah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Subyek tentang hubungan antara Islam, syariah dan negara—khususnya negara yang menerapkan prinsip “sekulerisme”—tidak ragu lagi merupakan salah satu tema diskusi dan perdebatan yang sengit, tidak hanya di antara para pemikir, cendekiawan Muslim dan ulama, tetapi juga di kalangan parpol dan politisi Muslim.
Perdebatan ini bisa dipastikan bakal terus berlangsung karena masih berlanjutnya ketegangan dan kontestasi di antara sebagian Muslim yang “syariah-oriented” dengan negara.
Sekedar mengingatkan, pada dasarnya ada dua aliran mengenai subyek ini; mereka yang menolak negara Islam atau integrasi resmi Islam ke dalam negara—dan dengan demikian menolak adopsi dan penerapan syariah oleh negara. Pada pihak lain, ada mereka yang menuntut amalgamasi Islam ke dalam negara dan kekuasaan politik, yang memungkinkan penerapan syariah.
Bagi kelompok kedua, pola hubungan seperti itu memungkinkan penerapan syariah dengan menggunakan negara. Menurut argumen mereka, tanpa otoritas dan kekuasan negara, penerapan syariah tidak akan efektif.
Bagi mereka, penerapan syariah merupakan cara satu-satunya bagi pemecahan berbagai masalah yang dihadapi negara-negara Muslim—termasuk Indonesia. Oleh karena itu, kelompok ini berusaha melakukan berbagai upaya agar negara dapat secara resmi mengadopsi syariah.
Negosiasi Syariah
Dalam konteks perdebatan itu, sangat menarik membaca kembali buku guru besar Emory University, Atlanta, Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007). An-Naim dalam beberapa kesempatan menjadi visiting fellow di Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN pada awal dasawarsa 2000.
Dia melakukan penelitian tentang Indonesia, khususnya tentang aspek-aspek hukumnya. Oleh karena itu, tidak heran jika an-Naim menerbitkan edisi bahasa Indonesia Islam dan Negara Sekular secara simultan dengan edisi Inggris, berbarengan diskusi dengan pengarangnya, yang diselenggarakan CSRC UIN Jakarta.
Tujuan utama buku ini, menurut an-Naim, adalah mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat Muslimin, tetapi bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh kekuatan negara. Hal ini karena dipandang dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan secara sukarela oleh para penganutnya.
Sebaliknya, prinsip-prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan negara. Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi umat Islam.
Pendapat ini disebut an-Naim sebagai “netralitas negara terhadap agama.” Lebih jauh an-Naim berargumen, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam, karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup beragama, bermasyarakat; membina lembaga dan hubungan sosial.