MENU

Islam Simbolik dan Islam Substantif: Problema Nilai Islamisitas dalam Politik Indonesia

Oleh: Al Chaidar, dosen di Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam.
Serial tulisan membahas esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi

Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, namun harus bisa dilihat dan diukur melalui benda konkret, data dan fakta, dan bisa dibuktikan secara empirik, tidak hanya soal penghayatan teologis yang dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.

​Nilai-nilai agama Islam pada hakekatnya adalah kumpulan dari prinsip-prinsip hidup, ajaran-ajaran tentang bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya di dunia ini, yang satu prinsip dengan lainnya saling terkait membentuk satu kesatuan yang utuh, tidak dapat dipisahkan.

Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization (Gibb, 1932: 12). Karena nilai-nilai Islam itu sangat abstrak dan debatable karena penafsiran yang berbeda-beda, maka banyak nilai-nilai Islam itu hanya sebatas nilai teologis saja, tidak menjelma hingga ke peradaban Islam yang maju seperti pada zaman Rasulullah Muhammad SAW di abad ke-7.

Banyak Muslim sesungguhnya adalah para pendusta agama yang hanya sibuk dengan simbol esoterisme dan sengaja tidak mau berpikir inklusif.

​Ide-ide Islam dalam politik banyak yang kandas dan tak mampu dipertahankan karena absennya penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah (Ulil Abshar-Abdalla, 2002). Dibutuhkan suatu kerja keras yang serius yang nyaris merenggut nyawa pencetusnya untuk adanya: suatu interpretasi untuk aksi (AE Priyono, 2008).

Habib Rizieq Shihab seharusnya memiliki tim yang mampu membuat suatu indeks negara syariah yang terdiri dari indeks maqashid (Syafii Antonio, 2012), indeks konstitusi Islam (Dawood Ahmed dan Moamen Gouda, 2015) dan indeks kinerja sosial Islam (Mehmet Asutay dan Astrid Fionna Harningtyas, 2015) agar idenya operasional dan bisa diaplikasikan pada aras politik yang disebut negara.

Tanpa itu semua, maka ide NKRI Bersyariah hanyalah sebuah ide demagog yang utopis, yang hanya mampu memberikan harapan-harapan politik yang kosong dan melompong.

​ Islam, kemodernan, dan keindonesiaan adalah kombinasi penting yang Nurcholish Madjid (2008) telah perlihatkan, betapa nilai universal membutuhkan spirit zaman (modernitas) dan apresiasi terhadap lokalitas (keindonesiaan) untuk bisa berbunyi.

Jika Habib Rizieq Shihab tidak memiliki paradigma yang teguh, maka ide NKRI Bersyariah itu tidak akan mewujudkan Islam sebagai agama profetik di mana substansiasi nilai-nilai agama dalam ruang publik tidak terjadi (Masdar Hilmy, 2008).

Namun, berdasarkan aksi-aksinya di dalam peristiwa demonstrasi beludru yang sangat luar biasa (Aksi 411 dan 212 dan Reuni 212 di tahun 2017 dan 2018), di mana ia sanggup mengajak jutaan manusia berhimpun di Monumen Akal Sehat di jantung Jakarta tanpa merusak taman dan tidak menginjak rumput serta tidak membuang sampah, saya sangat yakin ia menjadi tokoh profetik yang revolusioner.

​Bagi saya, Habib Rizieq Shihab perlu melakukan apa yang disebut Bahtiar Effendy (2011) sebagai transformasi gagasan menjadi praktik politik Islam di Indonesia dalam etos sosial, ekonomi, politik dan hukum.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER