Akhirnya, gejolak fluktuasi kurs mata uang antar negara merembet pada isu-isu perdagangan bebas, daya saing produk antar negara dan juga perbedaan purchasing power parity. Pedang uang China begitu tajamnya sampai membuat keteteran negeri adidaya Amerika Serikat. Sementara China berusaha mendevaluasi “Renmimbi” atas mata uang dunia untuk menjaga daya saing produknya agar tetap kuat, negara seperti Amerika Serikat berusaha menekan negeri Tirai Bambu tersebut untuk menaikkan nilai mata uangnya. Kondisi yang mengarah pada “perang mata uang” menjadi pokok bahasan yang menarik di universitas-universitas, termasuk kampus saya ANU College of Asia and the Pacific dimana mata kuliah seperti China and the World menjadi tren baru. Australia mengamati dengan seksama geliat China, misalnya dengan membentuk pusat-pusat kajian yang diantara produknya adalah jurnal-jurnal ilmiah yang berpengaruh.
Bukan hanya mengundang produk-produk China, perekonomian Australia yang prospektif juga menyerap banyak tenaga kerja termasuk diantaranya para student. Karena membutuhkan banyak tenaga kerja, khususnya untuk “pekerjaan casual” seperti cleaner, house keeper, loper koran, kasir toko, pemetik buah atau jamur yang kebanyakan orang sini kurang tertarik, pemerintah Australia mengijinkan para mahasiswa bekerja part time 20 jam per minggu dan full time bagi spouse mereka.
Demi duit Ostrali inilah banyak diantara mahasiswa kita bekerja. Jadi jangan heran kalau yang membersihkan gedung atau yang menjadi security atau cashier di mall adalah para kandidat doktor atau master di berbagai bidang keilmuan. Saya pernah bertemu seorang mahasiswa S-3 RMIT bekerja sebagai asisten toko di Victoria Market, Melbourne yang tugasnya membuka dan menutup toko. Dengan rate salary tinggi yang berbeda antar negara bagian, mereka berlomba mengumpulkan bugs demi bugs sebagai tabungan. Dari sinilah istilah “full time work, part time study” bermula. Kalau setelah pulang ke Tanah Air mereka bisa membeli rumah, mobil atau biaya menikah itu bukan karena korupsi, tetapi dari hasil membanting tulang.

Australia juga masih membutuhkan banyak tenaga kerja terampil, khususnya di bidang kesehatan. Karena kekurangan dokter dan perawat, kalau “sakit ringan” perlu beberapa hari appointment sebelum kita ditangani oleh dokter. Dengan pelatihan dan bahasa ingris yang bagus, terbuka peluang bagi TKI kita untuk bekerja di bidang kesehatan ini, selain juga perhotelan atau kerja kasar lainnya. Gaji tinggi dengan perlindungan tenaga kerja yang lumayan bagus, berpotensi menciptakan para “pahlawan devisa”.
Uang memang bisa membeli banyak hal, tapi bukan segalanya. Di negara maju seperti Australia pasca krisis banyak mantan eksekutif swasta bergaji tinggi rela bekerja di lembaga sosial dengan bayaran murah atau bahkan tidak digaji. Tentu yang begini yang mereka cari adalah kepuasan non material, bukan duit Ostrali. Wallohu a’lam bissawab.
Bila anda ingin menikmati kisah-kisah tentang “Australia dari Dekat”, Buku dalam format Pdf, bisa mengakses link berikut ini: https://www.slideshare.net/NicoAndrianto/australia-dari-dekat-berbagi-pengalaman-dan-tips-hidup
