ilustrasi

Kondisi di Indonesia cukup berbeda. Sebesar 38,7 persen surat utang Pemerintah dipegang oleh investor asing. Artinya, kondisi global seperti tren kenaikan bunga acuan Fed rate, instabilitas geopolitik, dan gelombang proteksionisme negara-negara maju sangat sensitif terhadap pasar surat utang di Indonesia. Karena pasar keuangan sangat dangkal, sekali goncangan eksternal terjadi kaburlah dana-dana asing di surat utang. Jadi tidak perlu heran kok rupiah bisa anjlok hingga 13.700-13.800 bulan Maret ini.

Indikator lain yang harusnya dibandingkan adalah rasio pajak tiap negara berbeda. Perlu dicatat dan dipahami bahwa utang bukan dibayar menggunakan PDB. Jadi rasio utang terhadap PDB sebenarnya hanya gambaran umum. Faktanya utang dibayar dengan penerimaan pajak. Sementara rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) di Indonesia hanya 11 persen. Jangan jauh-jauh membandingkan dengan negara maju. Dengan negara di ASEAN saja rasio pajak kita salah satu yang terendah, Malaysia sudah 14,2 persen dan Thailand 15,7 persen.

Kalau penerimaan pajak kita masih loyo karena rata-rata realisasinya hanya tumbuh 4 persenn dalam 2 tahun terakhir, bagaimana membayar utang plus bunganya? Munculah apa yang disebut sebagai defisit keseimbangan primer, total penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Artinya kalau terjadi defisit maka utang dicicil melalui penerbitan utang baru. Sejak 2012 tercatat defisit keseimbangan primer sebesar Rp52,7 triliun. Angkanya tahun 2017 menjadi Rp178 triliun. Gali lubang tutup lubang, tapi lubangnya saat ini makin dalam.

Yang jelas Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff, dua profesor Harvard University ini juga pernah dirisak (dibully, red) karena berani memaparkan soal debt overhang (bergantung utang). Bahwa utang yang terus meningkat berpotensi menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Kasus di negara-negara maju yang diteliti Reinhart dan Rogoff mungkin masih jauh dari Indonesia.

Baca juga: Tri Sukses Semu Ekonomi Pemerintahan Jokowi

Tapi setidaknya kita bisa banyak belajar, bahwa secara teori utang yang awalnya berbentuk leverage (mengungkit modal) bisa berubah menjadi risiko yang membahayakan ekonomi. Karena saat Pemerintah tahun 2017 lalu menambah 14 persen utang luar negeri, faktanya tidak bisa dipungkiri ekonomi kita hanya tumbuh 5 persen. Kisah ini menyisakan kekonyolan soal ambruknya beberapa toko ritel modern dan indikator lemahnya daya beli masyarakat yang diprediksi masih terjadi hingga 2018 ini. (ARif R)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama