Dalam kondisi seperti ini, maka tidak selamanya perbuatan yang dicela dan bertentangan dengan norma yang ada di dalam undang-undang atau norma yang hidup di dalam masyarakat otomatis bisa dipidana. Dengan kata lain ada limitasi perbuatan-perbuatan apa saja yang bisa dipidana dan perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak bisa dipidana. Dalam hal ini kita sudah masuk ke area pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan indikator untuk mengukur apakah seseorang dapat dipidana atau tidak atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana ini diukur dari ada tidaknya kesalahan yang dilakukan seseorang dan dapat atau tidaknya seseorang diminta tanggung jawab pidananya.

Dalam teori hukum pidana yang dikemukakan oleh para ahli, setidak-tidaknya ada 3 indikator yaitu : (1) seseorang yang melakukan tindak pidana pidana mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya; (2) yang bersangkutan mampu menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat; dan (3) mampu untuk menentukan kehendak berbuat.

Ketiga unsur tersebut akan dinilai pada diri seseorang yang melakukan tindak pidana sehingga bisa atau tidak dipidana. Namun tentu saja penilaian tersebut dilakukan bukan oleh penyidik atau jaksa tetapi oleh hakim di pengadilan.

Teori tentang pertanggungjawaban pidana ini lalu dinormakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 yang berbunyi :

  • Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabankan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak pidana.
  • Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan
  • Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Jelas bahwa, untuk dapat menentukan kadar kegilaan, atau dalam Bahasa KUHP disebut dengan kecacatan pada jiwanya, atau terganggu ingatannya tidak didasarkan pada asumsi belaka tetapi harus dibuktikan secara scientific di pengadilan yang dilakukan oleh dokter ahli jiwa (psikiater) yang disumpah. Tentu saja dokter tersebut harus melakukan uji medis, diagnose dan lalu disampaikan di pengadilan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama