Dr. Ahmad Sofian, SH, MA adalah pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Binus, dan pengasuh rubrik Konsultasi Hukum SERUJI.
SERUJI.CO.ID – Belakangan ramai diberitakan tentang pembunuhan, penganiayaan yang berakibat kematian dan penganiayaan yang berakibat luka ringan maupun berat yang ditujukan pada ulama, ustadz, kyai, para tokoh agama lainnya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, para pelaku dinyatakan gila, tidak waras, atau memiliki gangguan kejiwaan, sehingga menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Bahkan tidak hanya polemik tetapi juga keresahan yang akut dikalangan para umat beragama.
Sayangnya pernyataan gila, setengah gila, atau gangguan jiwa tersebut dinyatakan oleh polisi, bukan oleh ahli jiwa yang telah memeriksa pelaku tersebut, dan tidak dinyatakan di dalam proses peradilan.
Artikel singkat ini, ingin mengulas kegilaan dalam konteks hukum pidana nasional dan disajikan dalam bahasa yang ringan.
Pertanggungjawaban
Ketika peristiwa pidana terjadi, hukum pidana tidak mencari faktor-faktor yang menjadi sebab timbulnya peristiwa pidana tersebut, berbagai spekulasi yang muncul yang menjadi latar belakang peristiwa pidana tidak akan ditelisik hukum pidana. Itu bukan urusan hukum pidana, tetapi itu urusan ilmu lain yang membantu hukum pidana, yang lebih dikenal dengan ilmu kriminologi. Tugas kriminologi adalah mencari sebab munculnya delik itu.
Kriminologi kaya akan berbagai teori yang dapat menjelaskan peristiwa pembunuhan, penganiayaan berat atau penganiayaan ringan. Dalam konteks ini, bisa saja mengunakan teori konspirasi, teori perilaku kriminal menyimpang, teori pelabelan, teori konflik dan teori-teori lainnya untuk menjawab faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya peristwa tersebut.
Meskipun output analisisnya bisa berbeda-beda namun jawaban ilmu kriminologi jauh lebih memuaskan jiwa dibandingkan dengan spekulasi yang terjadi akhir-akhir ini. Ilmu kriminologi sangat kaya akan berbagai metodologi atas peristiwa pidana yang pelik sekalipun.
Sekali lagi, tulisan ini tidak masuk dalam ranah krimologi, tetapi memfokuskan diri pada hukum pidana, yang lebih menekankan jenis delik yang dilakukan dan unsur-unsur deliknya serta bukti-bukti apa saja yang diperlukan untuk masing-masing unsur tersebut.
Dalam hukum pidana klasik, untuk dapat diminta pertangjawaban pidana, maka sepanjang perbuatan tersebut mengganggu tata tertib masyarakat dan perbuatan tersebut dicela maka, si pelaku dapat dipidana. Tidak penting apakah pelaku tersebut gila atau tidak. Namun dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada massa modern, perlu juga mempertimbangkan kondisi mental dan kejiwaan pelaku, dilakukan dengan insyaf dan penuh kesadaran, dan apakah dilakukan dengan tanpa tekanan atau tanpa kesadaran. Oleh karena itu, kondisi mental dan kejiwaan pelaku juga dinilai.
Dalam perkembangan terkini atau disebut juga zaman kontemporer, maka untuk dapat dipidananya seseorang harus melihat tiga aspek sekaligus yaitu perbuatan pelaku, akibat yang ditimbulkannya dan keadaan diri pelaku. Ketiga aspek ini harus dinilai oleh pengadilan untuk bisa menjatuhkan pidana pada diri pelaku.