Keterangan yang disampaikan oleh dokter di pengadilan akan menjadi bahan pertimbangan hakim apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa secara normatif melanggar undang-undan atau tidak. Dalam konteks ini, pengadilan tidak serta merta dapat mempercayai 100 persen keterangan ahli psikiater yang didatangkan di pengadilan, karena akan ada aspek lain yang dinilai oleh pengadilan yaitu hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan akibat yang ditimbulkannya.

Disamping itu, keyakinan hakim merupakan hal lain yang tidak bisa diganggu gugat, keyakinan ini  didasarkan pada faktor-faktor yang ditemukan di pengadilan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Jika suatu saat keterangannya adalah palsu maka dokter tersebut pun dapat dikenakan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal  242 KUHP yang berbunyi :

  • Barangsiapa dalam hal-hal dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian  dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam  dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  • Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun;
  • Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan, yang diharuskan menurut aturan-aturan umum yang menjadi pengganti sumpah

Pasal ini disebut juga pasal sumpah palsu, dimana keterangan yang disampaikan secara lisan maupun tulisan di depan pengadilan mengandung unsur ketidakbenaran, baik ketidakbenaran yang disampaikan secara sengaja maupun tidak sengaja. Manipulasi sebuah kebenaran baik oleh saksi maupun oleh ahli di pengadilan merupakan pengingkaran pada kebenaran yang dapat merugikan banyak pihak.

Oleh karena itu, keterangan tersebut digolongkan sebagai delik atau perbuatan tercela. Ada kalanya keterangan yang disampaikan tidak diawali dengan sumpah, namun keterangan tersebut tidak memiliki kekuatan, karena kualitas keterangan tersebut diragukan kebenarannya.

Oleh karena itu, sumpah adalah suatu pernyataan dihadapan Tuhan untuk menyampaikan suatu kebenaran yang diketauhinya berdasar pengetahuannya atau sesuatu yang didengar atau didilihatnya atau sesuatu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, hakim tetap punya hak veto untuk tidak mempertimbangkan keterangan tersebut didasarkan pada pertimbangangan yang diyakininya.

Ini memberikan makna bahwa, hakim di pengadilan saja bisa menolak sebuah keterangan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, dan sudah disumpah. Jika hal ini dikaitkan dengan pernyataan penyidik, bahwa para pelaku adalah gila atau jiwanya cacat, maka kebenaranya tersebut pun masih belum bisa dipercaya sepenuhnya.

Penutup

Dengan demikian untuk menentukan kadar kegilaan seseorang dalam hukum pidana bukan sesuatu yang mudah, ada proses scientific yang harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi dibidangnya dengan uji ilmiah.

Selanjutnya, keterangan tersebut harus disampaikan di muka pengadilan dengan lisan atau tulisan tetapi diawali dengan sumpah sehingga sempurna sebagai alat bukti. Itupun, akan ada uji normatif lagi, untuk sampai pada kesimpulan apakah bukti yang scientific tersebut bisa diterima sebagai alat bukti untuk proses pengambilan keputusan oleh hakim di pengadilan atau tidak.

Ini menunjukkan bahwa untuk menemukan kebenaran materiil dalam konteks hukum pidana atas suatu kegilaan pada diri seseorang tidak semudah seperti yang dibayangkan. Hukum pidana tidak mudah percaya pada kegilaan seseorang atas delik yang dilakukannya. Hukum pidana akan mendalami apakah orang tersebut benar-benar gila melalui serangkaian test dan hasil test diuji lagi di pengadilan secara transparan.

(Zyk/Iwan S)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama